Beri Penjelasan soal Vaksin Nusantara, Ahli Kesehatan: Sebaiknya Tidak Diklaim dalam Waktu Dekat
Dokter Tonang Dwi Ardyanto memberikan tanggapannya mengenai Vaksin Nusantara untuk Covid-19 yang ramai diperbincangkan.
Penulis: Wahyu Gilang Putranto
Editor: Muhammad Renald Shiftanto
Harap Tak Ada Klaim Dini
Lebih lanjut, khusus di Indonesia, Tonang menyebut ide vaksin sel dendritik untuk Covid-19, sudah muncul sejak bulan November 2020 dan makin intensif pada bulan Desember.
"Sebagai suatu ide, kita hargai karena memang ide itu ada alasannya. Ada rujukannya pada kasus lain selain Covid. Tidak masalah."
"Tapi ketika diklaim sebagai Vaksin Nusantara, 10 juta dosis per bulan, biaya kurang dari 200 ribu, antibodi seumur hidup, maka perlu kita dudukkan secara jernih."
"Agar semua tetap sebisa mungkin rasional. Bukan menghambat inovasi, tapi menjaga tetap pada tempatnya," jelas Tonang.
Tonang menekankan, uji klinis sangat diperlukan untuk vaksinasi.
"Bahkan vaksin Covid yang sudah melalui uji klinis dan sekarang dipakai pun, semua masih dalam koriodor uji saking memang tetap harus hati-hati mengingat impact dan outcome yang diharapkan."
"Jadi bahkan yang sudah uji klinik pada puluhan ribu subyek di fase 1, 2 dan sebagian dari periode fase 3 sekalipun, tetap masih harus dibuktikan efektivitasnya ketika digunakan di masyarakat," ungkap Tonang.
Baca juga: Vaksin Nusantara, Hasil Kerjasama Kemenkes dengan RSUP dr Kariadi dan Undip, Berikut Kelebihannya
Tanggapan IDI
Sementara itu Ketua Satuan Tugas (Satgas) Covid-19 Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Zubairi Djoerban memberi apresiasi atas inovasi baru dalam memecahkan masalah pandemi virus corona di Indonesia.
Namun, ada beberapa catatan yang diberikan.
Pertama, Zubairi belum melihat adanya keterbukaan data terkait Vaksin Nusantara.
Dilansir Kompas.com, sampai saat ini ia belum menemukan publikasi data di jurnal ilmiah terkait vaksin tersebut, meski akan memasuki uji klinis tahap 2.
"Kalau ada penelitian-penelitian baru, saya mendukung dan tertarik banget. Namun sebagai dokter, kita harus bicaranya terbuka mengenai data ilmiahnya," kata Zubairi kepada Kompas.com, Jumat (19/2/2021).