Legislator Gerindra: Indonesia Turun Kelas, Kebijakan Ekonomi Perlu Dievaluasi
Sebelumnya, Indonesia masuk kategori negara berpendapatan menengah atas (upper middle income country) pada 2019.
Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Johnson Simanjuntak
Perlu diketahui, saat ini Bank Dunia mengklasifikasikan ekonomi dunia ke dalam empat kelompok pendapatan, yaitu tinggi, menengah atas, menengah bawah, dan rendah.
Ekonomi berpenghasilan rendah didefinisikan sebagai negara dengan GNI per kapita sebesar 1.045 dolar AS. Ketentuan tersebut naik dari 2019 yang hanya 1.025 dolar AS.
Adapun kategori ekonomi berpenghasilan menengah ke bawah adalah negara yang memiliki GNI per kapita antara 1.046 dolar AS dan 4.095 dolar AS. Ketentuan ini juga naik dari patokan sebelumnya yang hanya antara 1.026 dolar AS dan 3.995 dolar AS.
Sementara untuk kategori ekonomi berpenghasilan menengah ke atas adalah negara yang memiliki GNI per kapita antara 4.096 dolar AS dan 12.695 dolar AS. Ketentuan tersebut juga naik dari patokan sebelumnya yang hanya antara 3.996 dolar AS dan 12.375 dolar AS.
Dan ekonomi berpenghasilan tinggi merupakan negara yang memiliki GNI per kapita 12.696 dollar AS atau lebih. Batas syarat ini pun juga mengalami kenaikan dari patokan sebelumnya yang hanya 12.376 dolar AS atau lebih.
“Dengan batas baru tersebut, maka untuk kembali menjadi Upper Middle Income Country, harus memompa GNI per kapita setidaknya mencapai 4.096 dolar AS. Namun bila ingin kokoh di kasta tersebut maka harus memompa lebih tinggi lagi agar tidak mudah turun kembali ke level Upper Middle Income Country seperti saat ini,” kata Hergun meyakinkan.
Solusinya, kata Ketua DPP Gerindra itu, harus ada evaluasi kebijakan ekonomi secara fundamental. Pandemi Covid-19 telah menjatuhkan perekonomian ke jurang resesi. Dalam 4 kuartal berturut-turut mencetak pertumbuhan negatif. Sementara pada 2020 akumulasi pertumbuhan ekonomi terkontraksi sebesar minus 2,07% (yoy).
Salah satu penyebab terkontraksinya perekonomian karena melemahnya daya beli masyarakat. Pada 2020, konsumsi rumah tangga terkontraksi sebesar minus 2,63%. Bahkan kontraksi tersebut berlanjut hingga ke kuartal I-2021 yang mencatatkan angka minus 2,23%. Padahal komponen konsumsi rumah tangga menyumbang 56,9% dari total PDB.
“Melemahnya konsumsi rumah tangga secara eksplisit menggambarkan melonjaknya angka pengangguran dan kemiskinan. Semakin banyak yang menganggur dan jatuh miskin maka tingkat konsumsi rumah tangga akan semakin terpukul,” papar Hergun.
Menurut data BPS, pada periode Agustus 2020 jumlah angka pengangguran meningkat 2,67 juta orang. Dengan demikian, jumlah angkatan kerja yang menganggur menjadi sebesar 9,77 juta orang.
Sementara angka kemiskinan pada September 2020 mencapai 27,55 juta orang. Jumlah tersebut meningkat 2,76 juta dibanding September 2019.
“Tidak bisa dipungkiri bahwa pemerintah sudah mengambil kebijakan untuk menanggulangi lonjakan angka pengangguran dan kemiskinan. Sejumlah program dalam skema PEN mulai dari perlinsos hingga dukungan kepada UMKM dan korporasi telah digelontorkan. Namun hasilnya belum maksimal. Program-program tersebut belum mampu menahan kejatuhan Indonesia dari daftar upper middle income country,” jelas Hergun.
Hergun menambahkan, evaluasi kebijakan ekonomi bisa dilakukan dengan berbagai cara. Pertama, memperbanyak program padat karya agar masyarakat yang masih menganggur dapat memperoleh penghasilan yang kemudian akan meningkatkan tingkat konsumsi.
Program padat karya ditujukan terutama untuk proyek infastruktur yang saat ini sedang digalakkan pemerintah. Perlu peningkatan 50% penggunaan tenaga kerja pada proyek strategis nasional maupun proyek-proyek lainnya. Jadi, perlu ada pergeseran dari padat modal menjadi padat karya.