Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Abdul Rachman Thaha Nilai Pemerintah Belum Siap Bangun Safeguard Penangkal Perdagangan Gelap Vaksin

Pelaksanaan vaksinasi berbayar di Indonesia menuai pro dan kontra dari sejumlah kalangan.

Penulis: Faryyanida Putwiliani
Editor: Garudea Prabawati
zoom-in Abdul Rachman Thaha Nilai Pemerintah Belum Siap Bangun Safeguard Penangkal Perdagangan Gelap Vaksin
Warta Kota/Angga Bhagya Nugraha
Ilustrasi Vaksinasi Berbayar | Warga menjalani vaksinasi Covid-19 massal di JIExpo Kemayoran, Jakarta Pusat, Minggu (11/7/2021). Dengan mengangkat tema #SerbuanVaksinasi, kegiatan tersebut diikuti oleh ribuan warga. Warta Kota/Angga Bhagya Nugraha 

TRIBUNNEWS.COM - Pelaksanaan vaksinasi berbayar di Indonesia menuai pro dan kontra dari sejumlah kalangan.

Salah satunya adalah Anggota DPD RI, Abdul Rachman Thaha, yang ikut memberikan tanggapannya soal pelaksanaan vaksinasi berbayar.

Abdul menilai, saat ini pemerintah masih belum siap membangun safeguard untuk menangkal perdagangan gelap vaksin dan vaksin palsu.

Menurut Abdul, kekhawatirannya ini beralasan, karena sejauh ini sudah banyak perlengkapan untuk penanganan Covid-19 yang sudah dipalsukan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.

Baca juga: Soroti Adanya Vaksinasi Berbayar, Abdul Rachman Thaha: Indonesia Harusnya Tiru Malaysia dan Filipina

Di antaranya ada masker bekas pakai, oximeter palsu, hingga sertifikat palsu.

Lebih lanjut, Abdul menekankan jika nantinya terdapat vaksin palsu, maka inisiatif perekonomian lewat perdagangan vaksin justru mendatangkan persoalan keamanan dan penegakan hukum.

"Saya khawatir Pemerintah belum siap membangun safeguard untuk menangkal perdagangan gelap vaksin dan penjualan vaksin palsu. Kekhawatiran ini beralasan, mengingat berbagai perlengkapan dan peralatan untuk penanganan Covid-19 ternyata sudah dipalsukan dan beredar di masyarakat."

Berita Rekomendasi

"Jika nantinya terbukti vaksin palsu itu lalu lalang tak terkendali, maka semakin nyata bahwa inisiatif perekonomian lewat perdagangan vaksin justru mendatangkan persoalan keamanan dan penegakan hukum yang luar biasa peliknya," kata Abdul dalam keterangannya kepada Tribunnews.com, Senin (12/7/2021).

Baca juga: Pelaksanaan Vaksinasi Mandiri Berbayar Ditunda, Kimia Farma Sebut Dapat Respons dari Banyak Pihak

Nilai Pemerintah Abai pada Sistem Prioritas Vaksin

Abdul pun mempertanyakan bagaimana pertanggungjawaban pemerintah dalam sistem prioritas pemberian vaksin.

Jika dulu yang diprioritaskan adalah tenaga kesehatan dan petugas layanan publik.

Lalu dilanjutkan dengan manula dan berikutnya orang dengan gangguan jiwa.

Menurut Abdul, kini ia tidak menangkap informasi terkait prioritas pemberian vaksin berikutnya.

Sehingga Abdul memandang perdagangan vaksin via apotek ini semakin memperkuat indikasi bahwa pemerintah kini justru abai terhadap sistem prioritas yang pernah dibangunnya sendiri.

Baca juga: Epidemiolog: Herd Imunity Tak Bisa Jadi Alasan Pelaksanaan Vaksin Covid-19 Berbayar

"Dalam konteks itulah, saya memandang perdagangan vaksin via apotek semakin kuat mengindikasikan bahwa Pemerintah sendiri kini justru abai terhadap sistem prioritas yang pernah dibangunnya sendiri."

"Untuk mengujinya gampang, coba sajikan data, berapa persen orang-orang dari kelompok prioritas yang telah divaksin. Lalu tanyakan ke Pemerintah, bagaimana komersialisasi vaksin bisa mempercepat tuntasnya vaksinasi bagi seluruh anggota kelompok-kelompok prioritas tersebut," tegasnya.

Lebih lanjut Abdul menegaskan pemerintah perlu menyelamatkan perkonomian negara yang kian mendekati titik kolaps.

Karena demi kepentingan seluruh masyarakat Indonesia, terutama masyarakat lapisan bawah yang pastinya terdampak paling hebat.

Untuk itu Abdul meminta pemerintah untuk mengerahkan kreativitas guna menemukan terobosan-terobosan ekonomi yang lebih prospektif sekaligus sensitif terhadap masyarakat.

"Dan perdagangan vaksin pada masa sekarang, menurut saya, tidak patut menjadi terobosan itu," pungkasnya.

Baca juga: Hasan Basri Nilai Vaksin Berbayar Tidak Etis dan Tidak Sesuai Prinsip Keadilan

Jangan Mencari Untung dengan Memeras Rakyat

Diwartakan Tribunnews.com sebelumnya, Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI Netty Prasetiyani Aher menilai kebijakan vaksinasi Covid-19 berbayar sebagai cara mencari untung dari rakyat.

Sebelumnya pemerintah melalui Kimia Farma memberlakukan vaksinasi berbayar senilai Rp879.140 per dua dosis bagi individu atau perorangan.

"Vaksinasi untuk mengatasi bencana non-alam seperti pandemi adalah tanggung jawab negara terhadap keselamatan rakyatnya. Setiap individu harus mendapat akses yang sama dan merata melalui vaksinasi gratis."

"Jadi, opsi vaksin berbayar seperti upaya mencari keuntungan dengan memeras rakyat," ungkap Netty dalam keterangannya, Senin (12/7/2021).

Anggota Komisi IX DPR RI ini mengakui kebijakan ini belum didiskusikan dengan DPR.

Baca juga: Kimia Farma Tunda Pelaksanaan Vaksinasi Mandiri Berbayar, Sebut akan Perpanjang Masa Sosialisasi

"Tidak ada diskusi dengan Komisi IX terkait vaksinasi gotong royong bagi individu atau perorangan. Kebijakan yang sudah disetujui adalah vaksinasi gotong royong yang dibiayai perusahaan."

"Itu pun diizinkan dengan banyak catatan. Sekarang tiba-tiba muncul kebijakan vaksin berbayar untuk individu," jelas Netty.

Menurut Anggota Komisi IX ini, Permenkes RI Nomor 19 Tahun 2021 dijadikan landasan hukum bagi vaksinasi berbayar untuk individu setelah ada perubahan redaksi atas definisi vaksin gotong royong.

"Awalnya hanya ditujukan untuk karyawan perusahaan atau badan usaha, kemudian ditambahkan juga untuk individu atau perorangan yang dibebankan pembiayaannya pada yang bersangkutan," katanya.

Menurut Netty, pemerintah tidak bisa berdalih bahwa vaksinasi berbayar menjadi opsi bagi rakyat yang tidak bersedia antri dalam pelaksanaan vaksinasi.

Baca juga: Penjelasan Menkes soal Vaksin Covid-19 Berbayar: Pemerintah Buka Opsi yang Luas

"Akses gratis vaksin Covid-19 bukan persoalan warga kaya ataupun miskin, bukan pula soal mau antri atau tidak. Ini soal tanggung jawab negara melindungi rakyatnya."

"Jangan sampai publik berpikir hanya orang kaya yang mampu membeli vaksin yang dapat melindungi diri dari bahaya pandemi," papar Netty.

Politisi PKS ini meminta pemerintah mengakselerasi program vaksinasi agar segera mencapai target alih-alih menjual vaksin pada rakyat.

"Apakah target vaksinasi gratis 2 juta dosis per hari sudah tercapai? Apakah target vaksinasi gotong royong untuk pekerja dan keluarganya yang dibiayai perusahaan sudah sesuai tujuan?"

"Apakah laporan terkait KIPI sudah dievaluasi dan ditindaklanjuti? Pemerintah harus pastikan semua hal tersebut berjalan lancar dulu, jangan menambah PR baru," tanya Netty.

Baca juga: Legislator PAN Apresiasi Penundaan Pelaksanaan Vaksin Gotong Royong Individual

Selain itu, Netty juga mempertanyakan kejelasan bantuan 500.000 dosis vaksin Sinopharm dari UEA.

"Kemana rencana distribusi bantuan sinoparm dari UEA ini? Pemerintah harus transparan dan bertanggung jawab, jangan sampai ada penyelewengan dan penyalahgunaan bantuan. Terlebih Sinopharm dan cansino termasuk jenis vaksin dalam skema gotong royong ", tambahnya.

Atas polemik ini, Netty meminta pemerintah mengkaji ulang kebijakan vaksinasi berbayar untuk individu agar tidak menimbulkan kegaduhan publik.

"Sektor ekonomi sedang terganggu. Banyak rakyat yang tengah menderita dan terjepit. Fungsi layanan kesehatan pun tengah kolaps."

"Jangan menambah beban rakyat dengan isu vaksin berbayar dan isu kewajiban menyertakan sertifikat vaksinasi sebagai syarat pengurusan administrasi publik dan mengakses bantuan sosial atau pelayanan sosial," papar Netty.

(Tribunnews.com/Faryyanida Putwiliani/Lusius Genik Ndau Lendong)

Baca berita lainnya terkait Virus Corona.

Sumber: TribunSolo.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas