KSPI Tolak Komersialisasi Vaksin di Tengah Pandemi Covid-19
Presiden KSPI Said Iqbal mempermasalahkan pemberian vaksin yang dilakukan secara berbayar.
Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Adi Suhendi
Misalnya, adanya kewajiban rapid tes sebelum naik pesawat dan kereta api, bertemu pejabat, bahkan ada buruh yang masuk kerja pun diharuskan rapid tes.
“Akhirnya ada semacam komersialiasi, dari yang awalnya digratiskan. Bahkan perusahaan yang awalnya mengratiskan rapid tes bagi buruh di tempat kerja masing-masing akhirnya setiap buruh harus melakukannya secara mandiri (membayar sendiri)," jelas Said Iqbal.
“Ini yang disebut komersialiasi. Tidak menutup kemungkinan program vaksi gotong royong dan vaksin berbayar secara individu juga terjadi hal yang sama. Awalnya dibiayai perusahaan, tetapi ke depan biaya vaksin gotong royong akan dibebankan kepada buruh. Dan dengan vajsin berbayar individu berarti hak sehat untuk rakyat telah diabaikan oleh negara karena vaksinisasi tidak lagi dibiayai pemerintah,” lanjut dia.
Kedua, kemampuan keuangan tiap-tiap perusahaan dan individu warga negara berbeda.
Said Iqbal memperkirakan, jumlah perusahaan menengah ke atas yang mampu membayar vaksin tidak lebih dari 10% dari total jumlah perusahaan di Indonesia atau dengan kata lain hanya 20% dari total jumlah pekerja di seluruh Indonesia yang perusahaannya mampu membayar vaksin gotong rotong tersebut.
Baca juga: P2G: 55 Persen Orangtua Tak Tahu Informasi Vaksinasi Untuk Anak
Artinya, kata dia, hampir 90% dari total jumlah perusahaan di seluruh Indonesia atau lebih dari 80% dari total jumlah pekerja di Indonesia, perusahaannya tidak mampu membayar vaksin gotong royong.
“Maka ujung-ujungnya akan keluar kebijakan pemerintah bahwa setiap pekerja buruh harus membayar sendiri biaya vaksi gotong royongnya. Jika ini terjadi apakah Kadin dan Apindo akan ikut bertanggungjawab? Jangan membuat kebijakan yang manis di depan tapi pahit di belakang bagi buruh Indonesia,” tegasnya.
Jumlah buruh di Indonesia sangat besar. Menurut data BPS 2020 jumlah buruh formal sekitar 56,4 juta orang. Sedangkan buruh informal sekitar 75 juta orang.
Dengan demikian, total jumlah buruh di Indonesia ada sekitar 130 jutaan orang.
Bayangkan dengan keluarganya, maka total jumlah buruh dan keluarganya mendekati angka 200-an juta orang.
Said Iqbal lantas mengungkap pertanyaannya sekarang apakah seluruh perusahaan mampu membayar 200-an juta orang atau setidak-tidaknya 130-an juta buruh untuk mengikuti vaksin gotong royong?
Apabila harga vaksin gotong royong 800-an ribu dikalikan 130-an juta buruh, maka dana yang harus disediakan mencapai Rp104 triliun.
Begitu pula secara individu, tidak semua warga negara mempunyai kemampuan bayar secara mandiri.
“Jadi ini hanya proyek lip service yang hanya manis di retorika atau pemanis bibir tetapi sulit diimplementasikan di tingkat pelaksanaan. Ujung-ujungnya vaksin gotong royong hanya akan membebani buruh dari sisi pembiayaan,” kata dia.