Tanggapi Kasus dr Lois, Guru Besar Farmasi UGM: Pendapatnya Tidak Bisa Dipertanggungjawabkan
Guru Besar Farmasi UGM, Prof Zullies Ikawati, PhD, Apt. turut tanggapi kasus pernyataan dokter Lois Owien, sebut tidak dapat dipertanggungjawabkan
Penulis: Galuh Widya Wardani
Editor: Daryono
TRIBUNNEWS.COM - Guru Besar Farmasi UGM, Prof Zullies Ikawati, PhD, Apt. turut menanggapi kasus viralnya pernyataan dokter Lois Owien yang menyebut bahwa kematian pasien COVID-19 akibat interaksi obat.
Prof Zullies mengatakan pernyataan bahwa kematian pasien Covid adalah semata-mata akibat interaksi obat, tidak bisa dipertanggungjawabkan.
"Jadi, jika ada yang menyebutkan bahwa kematian pasien Covid adalah semata-mata akibat interaksi obat, maka pernyataan itu tidak berdasar dan tidak bisa dipertanggungjawabkan," jelas akademisi UGM ini, Senin (12/7/2021).
Mengutip Tribunnews.com, Senin (12/7/2021), Zullies menjelaskan, Interaksi obat adalah adanya pengaruh suatu obat terhadap efek obat lain ketika digunakan bersama-sama pada seorang pasien.
Secara umum, interaksi ini dapat menyebabkan meningkatnya efek farmakologi, obat lain bersifat sinergis atau additif.
Atau bahkan dapat mengurangi efek obat lain (antagonis) dan meningkatkan efek yang tidak diinginkan dari obat yang digunakan.
Baca juga: FAKTA dr Lois Owien, Dokter yang Tak Percaya Covid-19: Ditangkap Polisi, Tak Terdaftar Anggota IDI
Sehingga dampak interaksi obat tidak bisa disamaratakan apakah membahayakan atau tidak bagi pasian.
Harus ada kajian lebih dalam secara individual dari kandungan obat yang dijadikan terapi tersebut.
"Karena itu, sebenarnya interaksi ini tidak semuanya berkonotasi berbahaya, ada yang menguntungkan, ada yang merugikan. Jadi tidak bisa digeneralisir, dan harus dikaji secara individual," ujar Zullies.
Zullies juga menegaskan, tidak semudah itu interaksi obat dapat menyebabkan kematian.
Perlunya adanya penelitian lebih lanjut dan kerjasama antar tenaga kesehatan dalam memberikan terapi kepada pasien, baik dokter, perawat dan apoteker.
Hal ini dilakukan untuk memantau jalannya terapi dengan lebih cermat.
Sehingga tidak berdampak membahayakan bagi pasien.
Dengan kata lain, jika ada penggunaan obat yang diduga akan berinteraksi secara klinis, maka perlu adanya pemantauan hasil terapi lebih dalam.
Sehingga, jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan akibat interaksi obat, dapat segera melakukan tindakan lain, misalnya menghentikan atau mengganti obatnya.
Baca juga: Ditangkap Polisi, dr Lois Dijerat Dengan UU Tentang Wabah Penyakit Menular
Mengingat, banyak kondisi penyakit yang membutuhkan lebih dari satu macam obat untuk terapinya.
Apalagi jika pasien memiliki penyakit lebih dari satu (komorbid).
Interaksi Obat Menguntungkan
Zullies memberikan contoh pada pasien yang kondisinya mengalami penyakit hipertensi yang pastinya membutuhkan lebih dari satu obat.
Pada kondisi hipertensi yang tidak terkontrol dengan obat tunggal, biasanya sering ditambahkan obat antihipertensi lainnya, bahkan bisa kombinasi 2 atau 3 obat antihipertensi.
Dalam kasus ini, memang pemilihan obat yang akan dikombinasikan harus tepat, yaitu obat harus memiliki mekanisme yang berbeda.
Ibarat menangkap pencuri, dia bisa dihadang dari berbagai penjuru.
Obat tersebut dapat dikatakan berinteraksi, tetapi interaksi ini adalah interaksi yang menguntungkan, karena bersifat sinergis dalam menurunkan tekanan darah.
Meski demikian, tetap harus adanya perhatian khusus terkait dengan risiko efek sampingnya.
Baca juga: Bareskrim Ambil Alih Penanganan Perkara Dokter Lois yang Ditangkap Karena Tak Percaya Covid-19
"Memang tetap harus diperhatikan terkait dengan risiko efek samping, karena semakin banyak obat tentu risikonya bisa meningkat," jelas Zullies.
Sementara itu, untuk terapi COVID-19, Zullies menyebut COVID-19 merupakan penyakit yang unik.
Mengingat kondisi satu pasien dengan yang lain dapat sangat bervariasi.
Misalnya pasien yang bergejala sedang sampai berat dapat terjadi peradangan paru, gangguan pembekuan darah, gangguan pencernaan, dan lain-lain.
Oleh karena itu, perlu adanya kehati-hatian dalam pemilihan obat yang sesuai, sehingga tidak dapat memperburuk kondisi dan bahkan mungkin dapat menyebabkan kematian.
"Karena itu, sangat mungkin diperlukan beberapa macam obat untuk mengatasi berbagai gangguan tersebut, di samping obat antivirus dan vitamin-vitamin. Namun jika tidak mendapatkan obat yang sesuai, dapat memperburuk kondisi dan menyebabkan kematian," ungkap dia.
Menurut Zullies, dokter tentu akan mempertimbangkan manfaat dan risikonya dan memilihkan obat yang terbaik untuk pasiennya.
Sehingga tidak ada dokter yang ingin pasiennya meninggal dengan obat-obat yang diberikannya.
Interaksi Obat Merugikan
Interaksi obat dapat merugikan jika adanya suatu obat dapat menyebabkan berkurangnya efek obat lain yang digunakan bersama.
Baca juga: Polri Bakal Gelar Perkara Terlebih Dahulu Tentukan Nasib dr Lois
Atau bisa juga jika ada obat yang memiliki risiko efek samping yang sama dengan obat lain yang digunakan bersama, maka akan makin meningkatkan risiko total efek sampingnya.
Seperti contohnya obat azitromisin dan hidroksiklorokuin yang dulu digunakan untuk terapi Covid, atau azitromisin dengan levofloksasin.
Keduanya sama-sama memiliki efek samping mengganggu irama jantung.
Jadi jika digunakan bersama maka bisa terjadi efek total yang membahayakan.
Selain itu, interaksi obat dapat meningkatkan efek terapi obat lain.
Pada kasus tertentu, peningkatan efek terapi suatu obat akibat adanya obat lain juga dapat berbahaya jika efek tersebut menjadi berlebihan.
Misalnya efek penurunan kadar gula darah yang berlebihan akibat penggunaan insulin dan obat diabetes oral, bisa menjadi berbahaya.
Untuk itu, perlu dipilih obat yang paling kecil risiko interaksinya.
Pada dasarnya, interaksi obat dapat dihindarkan dengan memahami mekanisme interaksinya.
Zullies mengatakan mekanisme interaksi obat itu dapat melibatkan aspek farmakokinetik (mempengaruhi absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi obat lain), atau farmakodinamik (ikatan dengan reseptor atau target aksinya).
Untuk obat yang interaksinya terjadi jika bertemu secara fisik, seperti obat antibiotika golongan kuinolon dengan calcium yang membentuk ikatan kelat misalnya, maka pemberian dengan jeda waktu yang lebar dapat menghindarkan interaksinya.
Tetapi jika mekanismenya adalah mempengaruhi metabolisme obat sehingga menyebabkan kadar obat lain meningkat atau berkurang.
Baca juga: Geger Lois Owien Menyangkal Covid-19, Dokter Tirta: Dia Tidak Terdaftar Sebagai Anggota IDI
Sehingga dapat diatasi dengan penyesuaian dosis obat, karena hanya memberi jeda waktu pemberian tidak akan mengurangi dampak interaksinya.
Namun, jika pemberian jeda pemberian dan penyesuaian dosis tidak dapat mencegah dampak interaksi, maka cara lain menghindari interaksi obat adalah dengan mengganti obatnya.
Oleh karena itu, Zullies menekankan dampak interaksi obat tidak bisa disamaratakan.
Hal ini harus dilihat kasus demi kasus secara individual.
" Sekali lagi, dampak interaksi obat tidak bisa digeneralisir dan harus dilihat kasus demi kasus secara individual, sehingga pengatasannya pun berbeda-beda pada setiap kasus," tegas Zullies.
Dokter Tirta Minta Pertanggungjawaban Pernyataan dr Lois Secara Ilmiah
Tirta Mandira Hudhi alias dr Tirta pun turut angkat bicara mengenai pernyataan dr. Lois yang kontroversial tersebut.
Dokter Tirta berharap, dr. Lois dapat mengklarifikasi dan mempertanggungjawabkanpernyataannya di hadapan kantor PB IDI Pusat secara ilmiah.
Baca juga: Soal Vaksin Covid-19 Berbayar, dr Tirta: Saya Kurang Sepakat
"Ibu Lois diharap mengklarifikasi dan mempertanggungjawabkan statement-nya di hadapan kantor PB IDI Pusat secara ilmiah di hadapan para ahli," tegas dr Tirta dikutip dari Tribunnews, Senin (12/7/2021).
Untuk diketahui, Lois, wanita yang mengaku dokter ini secara blak-blakan menyatakan dirinya tidak percaya dengan segala teori terkait virus corona.
Hal tersebut diungkapnya dalam acara Hotman Paris Show beberapa waktu lalu, yang dipandu oleh Hotman Paris Hutapea serta Melaney Ricardo.
Menanggapi hal itu, dr. Tirta lantas mempertanyakan status dokter Lois.
Namun, setelah diselidiki, Lois tidak terdaftar sebagai anggota Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
"Ibu ini mengaku sebagai dokter, setelah dikonfirmasi ke Ketua IDI Pusat, dr Daeng, dan saya konfirmasi ke Ketua MKEK, beliau mengatakan bahwa dr Lois tidak terdaftar di anggota IDI," kata dr Tirta.
Padahal seluruh dokter di Indonesia harus tergabung dalam IDI.
Apalagi surat tanda registrasi (STR) dr Lois juga disebut tidak aktif sejak 2017.
Oleh karena itu, pada Minggu (11/7/2021), dirinya diamankan oleh Polda Metro Jaya.
Pihak kepolisian saat ini tengah mendalami kasusnya.
(Tribunnews.com/Galuh Widya Wardani/Rina Ayu Panca Rini/Mohammad Alivio Mubarak Junior)