Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Dilarang WHO, Thailand Dukung Pencampuran Dua Merek Vaksin Berbeda untuk Dosis Kedua Bahkan Booster

Thailand membela' aksi sejumlah negara yang memutuskan untuk melakukan pencampuran dua merek vaksin covid-19.

Penulis: Fitri Wulandari
Editor: Anita K Wardhani
zoom-in Dilarang WHO, Thailand Dukung Pencampuran Dua Merek Vaksin Berbeda untuk Dosis Kedua Bahkan Booster
Freepik
Ilustrasi vaksinasi. Dilarang WHO, Thailand Dukung Pencampuran Dua Merek Vaksin Berbeda untuk Dosis Kedua Bahkan Booster 

Laporan Wartawan Tribunnews, Fitri Wulandari

TRIBUNNEWS.COM, BANGKOK - Thailand pada Selasa kemarin 'membela' aksi sejumlah negara yang memutuskan untuk melakukan pencampuran dua merek vaksin virus corona (Covid-19) yang berbeda untuk memerangi lonjakan kasus infeksi yang kian signifikan.

Padahal Ilmuwan top Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah memperingatkan bahwa itu adalah 'tren berbahaya' yang tidak didukung oleh bukti dan data berbasis keilmuan yang kuat.

Negara itu kini memang sedang berjuang untuk menahan lonjakan terbarunya yang dipicu oleh munculnya varian B.1.617.2 (Delta) yang juga melanda banyak negara di dunia.

Baca juga: Sama Seperti WHO, Kemenkes Tegaskan Tidak Campur Vaksin Dosis Pertama dan Kedua dengan Merek Berbeda

Baca juga: Ramai Vaksin Booster, WHO Beri Peringatan, Tidak Mencampur dan Mencocokan Vaksin Satu dan Lainnya

Varian yang kali pertama ditemukan di India ini disebut lebih mudah dan cepat menular dibandingkan varian lainnya.

Ini membuat kasus dan angka kematian di Thailand terus meroket dan sistem perawatan kesehatan di sana pun telah mencapai batas maksimumnya.

Dikutip dari laman Channel News Asia, Rabu (14/7/2021), pihak berwenang mengatakan bahwa mereka akan mencampur dosis pertama vaksin Sinovac dengan dosis kedua dari vaksin AstraZeneca.

Berita Rekomendasi

Ini dilakukan untuk mencoba dan mengetahui apakah pencampuran ini akan mendapatkan hasil yang efektif dalam enam minggu mendatang, bukan 12 minggu.

Kepala Virolog Thailand Yong Poovorawan mengatakan percobaan ini akan menggabungkan vaksin yang menggunakan platform virus yang tidak aktif dari Sinovac dengan vaksin vektor virus seperti AstraZeneca.

"Kami tidak bisa menunggu 12 minggu untuk efek booster, penyakit ini menyebar dengan cepat. Namun di masa depan, jika ada vaksin yang lebih baik dan lebih baik lagi, kita akan menemukan cara yang lebih baik untuk mengelola situasi ini," kata Poovorawan.

Tanggapannya ini muncul sehari setelah Kepala Ilmuwan WHO Dr. Soumya Swaminathan menyebut strategi itu sebagai 'tren berbahaya'.

"Kita berada di zona yang tidak ada data dan tidak ada bukti terkait 'campur dan cocokkan'," tegas Dr. Swaminathan.

Sebelumnya, Thailand telah melaporkan lebih dari 353.700 kasus virus corona dan 2.847 kematian.

Sebagian besar terdeteksi sejak gelombang terbaru dimulai pada April lalu di distrik kehidupan malam kelas atas Bangkok.

ILUSTRASI Vaksin Moderna
ILUSTRASI Vaksin Moderna (Joseph Prezioso / AFP | Freepik)

Tenaga kesehatan (nakes) Thailand menjadi kelompok pertama yang menerima vaksinasi Sinovac.

Pihak berwenang mengatakan pada hari Minggu lalu bahwa hampir 900 staf medis yang mayoritasnya divaksinasi menggunakan Sinovac, tetap terinfeksi Covid-19.

Oleh karena itu, pemerintah negara itu akan mempertimbangkan nakesnya untuk mendapatkan suntikan dosis tambahan (booster) vaksin AstraZeneca atau Pfizer-BioNTech.

Terkait sejumlah negara yang memutuskan untuk mencampur dan mencocokkan dua vaksin yang berbeda pada dosis awal, kedua, bahkan dosis tambahan (booster) vaksinasi, Kepala Ilmuwan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Dr. Soumya Swaminathan telah memperingatkan warga dunia untuk tidak menggabungkan vaksin virus corona (Covid-19) yang berbeda.

Hal ini disampaikannya untuk menanggapi adanya pernyataan dari perusahaan farmasi yang menggembar-gemborkan kemungkinan bahwa suntikan tambahan (booster) dapat efektif melawan varian baru Covid-19, yakni B.1.617.2 (Delta).

Ia memperingatkan untuk tidak mencampur vaksin yang berbeda dalam upaya meningkatkan kekebalan.

Karena saat ini tidak ada bukti maupun data yang menguatkan spekulasi itu.

Pernyataan tersebut ia sampaikan dalam konferensi pers WHO pada hari Senin kemarin waktu setempat.

"Saya benar-benar ingin memperingatkan orang-orang, karena ada orang yang berpikir untuk mencampur dan mencocokkan vaksin yang berbeda, jadi ini menjadi tren yang berbahaya. Kita saat ini berada di zona bebas data dan bebas bukti, ada data terbatas yang kita miliki tentang mix and match ini," tegas Dr. Swaminathan.

Menurutnya, jika banyak negara yang meyakini informasi 'gembar-gembor perusahaan farmasi' tanpa didasarkan pada data, maka ini akan menimbulkan kekacauan.

"Ini akan menimbulkan situasi yang kacau di banyak negara, jika warga mulai memutuskan kapan mereka harus mengambil dosis kedua, ketiga atau keempat," jelas Dr. Swaminathan.

Dikutip dari laman Russia Today, Selasa (13/7/2021), berbeda dengan apa yang disampaikan Ilmuwan WHO, beberapa penelitian diklaim telah menunjukkan hasil yang menjanjikan dari kombinasi vaksin yang berbeda.

Seperti yang dilakukan Institut Gamaleya Rusia yang menjadi pengembang vaksin pertama yang mencoba 'cara ini'.

Gamaleya menawarkan vaksin Sputnik V dan AstraZeneca untuk diuji klinis pada tahun lalu, dan penelitiannya pun saat ini masih berlangsung.

Studi serupa yang menggabungkan vaksin lain juga telah memperkuat argumen untuk 'mencampur dan mencocokkan'.

Sejumlah negara seperti Inggris, Kanada, dan Italia mengizinkan warganya untuk menerima suntikan dari beberapa produsen vaksin.

Dr. Swaminathan mengakui bahwa penelitian ini memang telah memunculkan harapan bagi banyak negara.

Namun ia mencatat bahwa suntikan booster tidak diperlukan untuk saat ini, meskipun dunia tengah dilanda varian baru yang diklaim lebih mudah dan cepat menular.

"Harus berdasarkan ilmu dan data, bukan pada masing-masing perusahaan yang menyatakan bahwa vaksin mereka sekarang harus diberikan sebagai dosis booster," pungkas Dr. Swaminathan.

Pernyataannya itu kemungkinan merujuk pada pernyataan raksasa farmasi Amerika Serikat (AS) Pfizer, yang mengumumkan pada pekan lalu bahwa dosis ketiga vaksinnya mungkin akan diperlukan untuk mempertahankan kekebalan tubuh.

Sementara itu, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) serta Badan Pengawas Obat dan Makanan (FDA) AS, membalas pengumuman Pfizer dengan pernyataan bersama yang menegaskan kembali bahwa penggunaan 'dua dosis efektif untuk saat ini'.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas