Epidemiolog UI: Distribusi Obat Covid-19 Gratis untuk Isoman Bukan Solusi Cerdas
Pakar epidemiologi UI, Pandu Riono, menilai kebijakan pemerintah mendistribusikan obat Covid-19 gratis bagi isoman tidaklah tepat.
Penulis: Wahyu Gilang Putranto
Editor: Pravitri Retno W
TRIBUNNEWS.COM - Pakar epidemiologi dari Universitas Indonesia (UI), dr Pandu Riono, menilai kebijakan pemerintah mendistribusikan obat Covid-19 gratis bagi masyarakat yang menjalani isolasi mandiri (isoman) bukanlah kebijakan cerdas.
Apalagi bila yang diberikan adalah obat keras, Pandu menilai hal itu justru membahayakan pasien.
"Kalau orang sakit ya dirawat di rumah sakit, bukan dikasih obat, apalagi itu obat keras," ungkap Pandu saat dihubungi Tribunnews.com, Jumat (30/7/2021).
Pandu menilai, pemberian obat yang tergolong keras semestinya membutuhkan pengawasan dokter.
"Siapa yang monitoring kalau obatnya tidak memberikan efek samping, apalagi begitu banyak yang harus diberikan, 2 juta, bayangin," ungkapnya.
"Seharusnya tidak perlu didistribusikan obat, cuma di Indonesia aja kebijakannya aneh, orang yang isoman dikasih obat, obatnya keras lagi," sambungnya.
Baca juga: Mahfud MD Sebut Mahal dan Sulitnya Obat Terapi Covid-19 Jadi Perhatian Pemerintah
Obat keras yang dimaksud Pandu antara lain antibiotik hingga antivirus.
"Walaupun dengan argumentasi sudah dikonsulkan dokter, kalau ada apa-apa siapa yang bertanggung jawab," ujarnya.
Pandu menilai, lebih tepat jika obat-obatan tersebut diprioritaskan untuk fasilitas kesehatan.
"Menurut saya, obat itu didistribusikan ke pelayanan kesehatan, di rumah sakit, hanya orang yang dirawat saja, yang di rumah nggak usah."
"Yang isoman nggak usah, kecuali isolasinya di tempat komunal, kaya Wisma Atlet, ada dokter yang mengawasi karena itu obat keras," ungkapnya.
Baca juga: Obat Terapi Covid-19 Dilarang Digunakan di Rumah, Hanya Boleh di Rumah Sakit
Selain itu, lanjut Pandu, kondisi setiap orang berbeda-beda sehingga obat yang diberikan tidak bisa disamaratakan.
"WHO menyarankan tidak boleh dikasih antibiotik kalau tidak ada tanda-tanda infeksi sekunder, tapi kan ini nggak tahu siapa yang punya ide, siapa yang ngerestui, siapa yang mengawasi," ungkapnya.
"Menurut saya itu bukan solusi yang cerdas untuk hadapi pandemi," sambungnya.