Kaum Perempuan Terimbas Pandemi Covid: Jadi Kepala Keluarga Dadakan Hingga Tidak Terima Bansos
Jumlah perempuan kepala keluarga ini diyakini terus bertambah seiring pandemi covid yang masih berlangsung
Penulis: Eko Sutriyanto
Selama 47 tahun sejak aturan itu berlaku, keberadaan perempuan kepala keluarga dianggap tidak lazim. Harusnya, tidak ada pembakuan kepala keluarga dalam relasi perkawinan.
Sebenarnya, dalam Undang-undang nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, memberikan peluang pengakuan legal bagi perempuan jika mengajukan perubahan status kepala keluarga dalam kartu keluarga.
Namun banyak yang belum mengajukan perubahan status kepala keluarga. Di sisi lain, budaya yang berkembang di masyarakat masih kental mengakui hanya laki-laki sebagai kepala keluarga.
Saat ada rapat atau pengambilan keputusan bersama di tengah lingkungan masyarakat, perempuan kepala keluarga tidak dilibatkan. Dalam pendataan bantuan, mereka kerap luput. Imbasnya, peluang mereka mendapat bantuan atau program sosial semakin kecil.
Haryati juga mengalaminya. Saat bantuan pandemi bermunculan, pengurus warga hanya meminta data ibu tunggal itu. Walau tercatat sebagai kepala keluarga, namun Haryati tak dilibatkan dalam keputusan siapa yang berhak menerima bantuan. Alhasil, bantuan yang diharapkan tak kunjung menghampiri Haryati.
PEKKA tidak berpangku tangan. Pada awal pandemi, PEKKA menggalang bantuan sembako dan bantuan komunikasi (internet untuk anak sekolah) lewat Program PEKKA Peduli.
PEKKA pun menjembatani ibu-ibu kepala keluarga dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), berbagai dinas terkait, atau perusahaan pemberi bantuan.
Pada awal 2021, PEKKA bersama Federasi Serikat Pekka di tingkat nasional dan Serikat Pekka di tingkat kabupaten menggelar pelatihan peningkatan kapasitas dalam mengadvokasi alokasi bantuan. Tujuannya agar bisa mengadvokasi kebijakan bantuan untuk perempuan miskin.
Para perempuan kepala keluarga dilatih untuk dapat memanfaatkan sumber daya lokal, seperti anggaran di desa/kabupaten. Salah satu yang diadvokasi adalah bantuan BPUM (Banpres Produktif Usaha Mikro). Setelah melalui proses advokasi, Haryati termasuk penerima BPUM sebesar Rp1,2 juta.
Selain kerap tersisih dalam alokasi bantuan, perempuan kepala keluarga tidak dimasukkan ke dalam kriteria kelompok rentan. Akibatnya, mereka pun tidak masuk dalam prioritas program vaksinasi.
Haryati baru bisa menerima vaksin Agustus lalu, setelah melalui berbagai hambatan. Vaksinasi pun tak mudah.
Haryati terpaksa berangkat ke Kulon Progo, kabupaten sebelah, untuk mendapatkan suntikan pertama.
Direktur Eksekutif Filantropi Indonesia, Hamid Abidin menilai kalangan perempuan kepala keluarga harus mendapatkan prioritas vaksinasi dan bantuan.
Pasalnya, mereka hidup terpinggirkan dan sensitif dalam hal kesehatan. Sudah begitu, posisi mereka secara ekonomi umumnya juga lemah. Padahal, mereka harus menghidupi anak-anaknya.