Pakar Epidemiologi: Kepercayaan Diri Negara Maju Jadi Penyebab Varian Omicron Jadi Tak Terkendali
Pakar Epidemiologi Griffith University, Dicky Budiman Indonesia menyebutkan jika varian Omicron tidak boleh diremehkan.
Penulis: Aisyah Nursyamsi
Editor: Wahyu Aji
Laporan Wartawan Tribunnews.com Aisyah Nursyamsi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar Epidemiologi Griffith University, Dicky Budiman Indonesia menyebutkan jika varian Omicron tidak boleh diremehkan.
Hal ini dikarenakan selain Omicron, masih ada varian lain yang dihadapi yaitu Delta.
Selain ini Omicron disebut sebagai perusak yang mampu menembus imunitas orang-orang yang telah diberi vaksin Covid-19.
Meski demikian tetap, dari sisi keparahan, orang yang telah divaksin memiliki gejala yang jauh lebih ringan. Atau bahkan sama sekali tidak bergejala.
"Tidak ada negara yang siap. Termasuk Australia yang sudah dari awal termasuk tergolong kuat. Di sisi lain pada tahu ketiga ini banyak negara seperti hal Australia dengan cakupan vaksin 90 persen itu over condifent," ungkap Dicky pada Tribunnews, Kamis (20/1/2022).
Kepercayaan diri yang berlebih dan faktor ekonomi sehingga cenderung membuka diri lewat kebijakan. Hal ini dikarenakan adanya suatu keyakinan telah memiliki daya tahan.
Baca juga: Pakar Epidemiologi: Indonesia Terlambat Tangani Kasus Varian Omicron, Tapi Masih Ada Peluang
Menurut Dicky, hal ini menjadi sebuah kesalahan dengan membiarkan virus varian Omicron bersirkulasi. Akibatnya orang yang memiliki penyakit komorbid dan belum divaksin dapat berdampak buruk.
"Dalam hal ini anak meninggal, termasuk lansia. Salah memilih startegi akhinya menjadi rawan. Walau vaksinasi bagus. Dan faktanya, yang menyerang ini satu kombinasi Omicron dan Delta," kata Dicky menambahkan.
Dalam hal ini, masyarakat tidak bisa hanya mengandalkan status imunitas. Pengendalian tetap harus dilakukan. Tapi ketika kasus sudah terlalu banyak, maka dapat menyebabkan keterbatasan sumber daya manusia.
"Tenaga kesehatan banyak yang sakit, proses testing, treacing dan treatment semakin berkurang karena banyak orang yang sakit. Jadi buah simalakama. Makanya mau gak mau cenderung tidak terkendali," tegasnya.
Baca juga: Epidemiolog: Jakarta Jadi Barometer Penanganan Kasus Omicron
Saat ini trend kenaikan kasus diprediksi puncaknya berada di bulan Februari.
Di sisi lain Afrika Selatan sebagai tempat pertama kali mengumumkan adanya varian Omicron belum juga reda.
"Dari kasus iya menurun, masih di ketinggian kasusnya. Dan Afrika Selatan bicara konteks 3T masih terbatas dan kematian relatif tinggi. Jadi bahwa kematian yang tercatat dan tidak tercatat ada gaps cukup besar," papar Dicky.
Menurutnya risiko ini hampir sama dengan Indonesia. Artinya, Omicron tidak bisa dipandang remeh, tidak ada negara siap.
Kasus varian Omicron hanya bisa diredam dengan mengkombinasikan betul 3T, vaksinasi, protokol kesehatan dan kontrol di pintu masuk.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.