Bagir Manan bilang Kepemimpinan Oso di Dewan Perwakilan Daerah RI tak Sah
Kepemimpinan Oesman Sapta Odang dinilai oleh Prof.DR Bagir Manan tidak sah secara hukum
Editor: Toni Bramantoro
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kepemimpinan Oesman Sapta Odang (OSO) yang saat ini memimpin Dewan Perwakilan daerah (DPD) RI, dinilai oleh Prof.DR Bagir Manan tidak sah secara hukum dalam acara diskusi media bertajuk “Sifat Putusan Mahkamah Agung dalam Kisruh DPD” yang diselenggaran oleh Kode Inisatif di sebuah hotel di Jl. Thamrin, Jakarta Pusat, Kamis (20/4/2017).
Menurut Mantan Ketua Mahkamah Agung tata tertib yang ada sudah dibatalkan Mahkamah Agung (MA) sehingga tidak ada kekosongan pimpinan DPD yang mewajibkan terjadinya pergantian ketua DPD.
Selain Bagir, Narasumber dari diskusi yang berlangsung serius tersebut, adalah Feri Amsari S.H, M.H, LLM dari Fakultas Hukum Universitas Andalas dan Veri Junaidi S.H, M.H. dari lembaga Kode Inisiatif.
Sebagai Mantan Ketua MA, Bagir menjelaskan, dengan adanya putusan MA tentang tatib pimpinan DPD, kepimpinan DPD yang lama tetap sah hingga masa jabatan berakhir.
"Dengan demikian, memilih pimpinan DPD baru itu tidak sesuai dengan prinsip kekosongan, karena tidak ada kekosongan. Dengan demikian, tindakan memilih tindakan tidak sah," tuturBagir.
Bagir pun menduga ada suatu hal yang ingin dikejar dari pemilihan Ketua DPD. Terlebih, OSO memiliki jabatan ketua partai hingga Wakil Ketua MPR RI.
"Ada ungkapan lama, di mana makin banyak kekuasaan, makin lama kekuasaan itu hendak digenggam. Sebab, salah satu sifat unsur kekuasaan itu ketamakan, karena makin berkuasa makin menikmati itu," jelasnya.
Mengenai sah atau tidaknya OSO sebagai Ketua DPD, Bagir mengungkapkan analogi pohon beracun dan buah beracun. Yang mana sebuah lembaga yang kepimpinannya ilegal akan menghasilkan produk atau peraturan yang ilegal.
"Kita lihat pohon itu beracun apa nggak, apakah pemilihan DPD sah atau tidak, kalau sah kenapa sah. Alasan pemilihan DPD karena terjadi kekosongan pimpinan DPD," tuturnya.
Ia menilai MA tidak bisa menabrak aturannya sendiri.
"Ini kok mirip dagelan. Masak MA sudah mencabut Tatib No.1 tahun 2016 dan Tatib no. 1 tahun 2017. Tapi tetap digunakan. Kalau sudah mencabut ya gunakan Putusan MA yang sebelumnya dong. Artinya tidak ada kekosongan pimpinan DPD yang mengharuskan dilakukan pemilihan ketua DPD yang baru. Ini benar-benar aneh,” papar guru besar Universitas Padjadjaran ini.