Rencana Pemindahan Ibu Kota Negara Tahun 2024 Dinilai Terlalu Cepat
Demikian beberapa hal yang mengemuka dalam Rapat Dengar Pendapat Umum Komite I DPD RI bersama Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia Dr. Yayat Supriatna, d
Editor: Content Writer
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komite I DPD RI menganggap pemerintah terlalu cepat dalam merencanakan pemindahan Ibukota Negara mulai tahun 2024. Terdapat sejumlah persoalan yang dapat menghambat kebijakan pemindahan ibukota ke Kalimantan Timur, diantaranya permasalahan regulasi dan tata kelola pemerintahan, kedudukan Provinsi Kalimantan Timur, dan DKI Jakarta pasca pemindahan, pertanahan dan tata ruang, pembiayaan dan beban anggaran. Belum lagi pemindahan Aparatur Sipil Negara (ASN), serta dampak sosial budaya dan kemasyarakatan.
Demikian beberapa hal yang mengemuka dalam Rapat Dengar Pendapat Umum Komite I DPD RI bersama Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia Dr. Yayat Supriatna, dan Bernardus Djonoputro membahas mengenai rencana Pemindahan Ibu Kota Negara (IKN), di Ruang Rapat Komite I, Komplek Parlemen Senayan Jakarta, Senin, (20/01).
“Target pemindahan Ibu Kota Negara di tahun 2024 ini saya bilang lumayan ambisius, kekhawatiran kita wajar karena waktu empat tahun itu sangat cepat, pembangunan kota itu prosesnya panjang dan menyangkut multi dimensi, apalagi persoalan membangun dan memindahkan Ibu Kota Negara,” ujar Ketua Komite I DPD RI Teras Narang dalam rapat tersebut.
Sementara itu, Ketua Majelis Kode Etik Perencana Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia (IAP) Bernardus Djonoputro memaparkan tantangan dalam merencanakan IKN adalah bagaimana mengoptimalkan pengembangan wilayah terpadu.
“Perlu penataan kota yang matang oleh pemerintah, paling standar pembangunan infrastruktur minimal, karena kita akan mendesain IKN pasti berkaitan dengan isu lingkungan, perubahan iklim, penggunaan energi, investasi, transportasi, masalah hunian, air bersih menjadi tema saat ini, bahkan perlu dipikirkan dalam 20-30 tahun ke depan sustainable development goal-nya sebuah kota,” ucapnya.
Senator NTB Achmad Sukisman, menyoroti besarnya biaya yang harus dipersiapkan oleh pemerintah dalam memindahkan IKN hingga Rp466 triliun dan pemerintah hanya mempersiapkan 20% dari APBN saat ini.
“Butuh biaya sangat besar untuk membangun di Kaltim, bahan baku saja perlu didatangkan dari tempat lain, karena tidak tersedia. Yang menjadi pertanyaan saya apakah mungkin empat tahun ini dapat dikebut? Jangan sampai pemerintahan yang baru nanti akan terbebani dalam melanjutkan program IKN baru tersebut,” kata Achmad Sukisman.
Sedangkan, Senator Papua Barat Filep Wamafma menyoroti dampak pembangunan IKN nanti jangan sampai menggerus dan menghilangkan budaya dan keberadaan masyarakat lokal. “Saya harap jangan sampai seperti Jakarta kehilangan suku aslinya yang terpinggirkan, saya minta nanti negara harus menjamin hak-hak masyarakat adat dan meningkatkan efek ekonomi juga kepada mereka,” ujarnya.
Komite I DPD RI sebagai salah satu alat kelengkapan DPD RI yang membidangi urusan pemerintahan daerah, pertanahan dan tata ruang, hubungan pusat-daerah, aparatur sipil negara, perbatasan, desa, dan pertahanan keamanan berkepentingan mendapatkan informasi yang komprehensif dari berbagai sumber, khususnya pada kesempatan kali ini dari aspek perencanaan, desain, dan tata ruang pemindahan ibu kota negara.
“Tak bisa dipungkiri, rencana pemindahan ibukota mengundang perdebatan. Perdebatan itu sendiri menunjukkan bahwa ibukota bukan sekadar pusat pemerintahan negara semata, tetapi juga menyangkut sejarah, tata kelola pemerintahan, pelayanan, keamanan, anggaran, kelembagaan, dan sebagainya. Komite I berusaha mengelaborasi semua persoalan ini sebagai bahan masukan dalam RUU IKN nanti berjalan dengan baik dan diterima oleh semua pihak serta berkeadilan bagi daerah,” pungkas Teras Narang. (NFM*)