PPUU DPD RI Bahas Penguatan Pengawasan Ombudsman Atas Penyelenggaraan Pelayaan Publik
Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU) DPD RI melakukan rapat kerja dengan Ombudsman RI secara virtual dari Papua (3/2).
Editor: Content Writer
TRIBUNNEWS.COM - Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU) DPD RI melakukan rapat kerja dengan Ombudsman RI secara virtual dari Papua, Rabu (3/2). Dalam rapat tersebut, PPUU DPD RI berharap agar RUU Perubahan atau Penggantian UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, terwujud pengawasan yang kuat terkait pelaksanaan pelayanan publik kepada masyarakat, dalam hal ini dilakukan oleh Ombudsman RI.
Wakil Ketua PPUU DPD RI, Ajbar mengatakan bahwa Ombudsman RI merupakan lembaga pengawas eksternal yang keberadaannya diharapkan mampu mengontrol tugas penyelenggara negara dan pemerintahan dalam penyelenggaraan pelayanan publik dan penegakan hukum. Oleh karena itu, pengawasan oleh Ombudsman RI harus meliputi pengelolaan pengaduan, dan penilaian kinerja berbasis pemenuhan kebutuhan pelayan publik dari masyarakat.
“Pelaksanaan pengawasan penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh Ombudsman Republik Indonesia juga diharapkan dapat mendukung terwujudnya pemerintahan yang baik (good governance). Konsep good governance sendiri telah menjadi political will dalam berbagai peraturan perundang-undangan Negara Indonesia,” ucapnya dalam rapat virtual yang turut dihadiri oleh Ketua PPUU Badikenita Br Sitepu dan Wakil Ketua PPUU Eni Khaerani, serta Pimpinan Ombudsman RI, seperti Dadan Suparjo Suharmawijaya, Ninik Rahayu, dan La Ode Ida.
Terkait penyempurnaan UU Pelayanan Publik ini, Eni Khaerani, menyoroti terkait alokasi anggaran dan ketersediaan sumber daya manusia di Ombudsman RI, baik di pusat atau daerah terkait pengawasan penyelenggaraan pelayanan publik.
“Apakah sejauh ini yang dirasakan Ombudsman secara pendanaan untuk melakukan tugas-tugas yang dibebankan kepada ombudsman ataupun SDM dari pusat ke daerah sudah dirasakan ideal sampai saat ini?” tanyanya.
Sementara itu, Senator Agustin Teras Narang, menjelaskan revisi terhadap UU Pelayanan Publik harus dilakukan karena menyesuaikan dengan perkembangan yang ada, salah satunya era digitalisasi yang telah masuk di setiap bidang. Undang-undang yang lahir di era reformasi tentunya akan perlu penyesuaian ketika terjadi perkembangan dan kemajuan di lingkungannya.
“Namun setelah berkembangnya keadaan dari bangsa dan negara-negara lain, PPUU berpandangan apakah sebaiknya undang-undang ini kita lakukan penyempurnaan, apalagi saat ini kita kenal digitalisasi, era revolusi industri 4.0,” jelasnya.
Sementara itu, Anggota Ombudsman, Dadan Suparjo Suharmawijaya, mengatakan bahwa sedikitnya rekomendasi yang dikeluarkan lembaganya bukan menjadi tolak ukur penilaian Ombudsman RI dalam menindaklanjuti laporan terkait mal administrasi pelayanan publik.
Ombudsman RI selama ini cenderung mengeluarkan rekomendasi dalam menindaklanjuti laporan, tetapi lebih melalui Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) yang berisi tindakan korektif atau saran yang bersifat mengikat. Rekomendasi baru dikeluarkan jika LAHP tidak dilaksanakan oleh instansi atau lembaga terlapor.
"Dari sekian ribu laporan ada LAHP dan tindakan korektif yang dijalankan oleh instansi terlapor. Ini yang harusnya menjadi penguatan produk LAHP dalam revisi UU 25/2009. Agar nanti tindakan-tindakan korektif itu dikuatkan agar semakin dilaksanakan oleh instansi terlapor," ucap Dadan.
Terkait wacana penambahan sanksi yang dapat diberikan oleh Ombudsman terhadap lembaga yang melakukan mal administrasi penyelenggaraan pelayanan publik, Dadan sependapat. Sanksi diberikan terhadap pejabat lembaga/instansi yang tidak melaksanakan tindakan-tindakan korektif yang dikeluarkan Ombudsman RI.
"Ketika atasannya tidak melaksanakan tindakan korektif itu, mungkin di situ bisa dimasukkan terkait kehilangan hak-hak administratif terkait jabatannya, agar lebih menggigit agar tindakan korektifnya bisa dilaksanakan," imbuhnya. (*)