Komite III DPD RI: Perlu Ada Layanan Konsultasi Guna Meminimalisir Kekerasan Berbasis Gender
Kekerasan Berbasis Gender (KBG) terjadi di mana saja dan kapan saja, terutama dalam situasi pandemi Covid-19.
Editor: Content Writer
TRIBUNNEWS.COM - Kekerasan Berbasis Gender (KBG) terjadi di mana saja dan kapan saja, terutama dalam situasi pandemi Covid-19 yang mengharuskan kita menghabiskan banyak waktu di rumah.
Menurut sebuah studi yang dilakukan oleh United Nations Development Programme (UNDP) dan Abdul Latif Jameel Poverty Action Lab South East Asia (J-PAL SEA), sedikitnya 42 persen masyarakat yang disurvei telah melaporkan mengalami beberapa bentuk kekerasan berbasis gender (gender-based violence/GBV) selama pandemi Covid-19.
Hasil studi yang dirilis pada Rabu (10/3/2021) lalu itu, juga menunjukkan 8% perempuan kehilangan pekerjaan dan sedang mencari pekerjaan. Persentase laki-laki yang menganggur pun lebih tinggi yaitu 15,2%. Bahkan 53% dari responden kehilangan pekerjaan akibat tekanan ekonomi yang dipicu pandemi.
Menanggapi hal itu, Komite III Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) yang memiliki salah satu lingkup tugas yakni Pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak mengaku prihatin dengan hasil studi yang dilakukan UNDP dan J-PAL SEA itu.
Menurut Ketua Komite III DPD RI, Sylviana Murni perubahan tersebut turut memengaruhi kesehatan mental dan menyebabkan konflik keluarga karena terlalu lama dekat satu sama lain, selain tekanan pengangguran dan stres.
"Permasalahan ekonomi dan perubahan interaksi menyebabkan konflik selain pembagian jam kerja menjadi pemicu terjadinya kekerasan," ujar Sylviana Murni dalam keterangannya, Senin (15/3/2021).
"Tingkat stres bagi perempuan menjadi sangat tinggi, karena beban kerja yang terlalu berlebihan," tambah Senator asal DKI Jakarta itu.
Oleh sebab itu, Sylviana Murni yang pernah menjabat sebagai Deputi Gubernur Bidang Pariwisata dan Kebudayaan Pemprov DKI Jakarta (2015-2016) itu mengaku permasalahan ini harus segera memiliki jalan keluar. Hal itu agar kekerasan berbasis gender tak mengalami peningkatan.
"Kekerasan dalam rumah tangga berbasis gender baik terjadi terhadap perempuan atau sebaliknya perlu ada jalan keluar, hal itu mengingat pandemi Covid-19 belum berakhir. Karena kemungkinan besar hal serupa akan terus terjadi jika tak segera ada jalan keluarnya dari permasalahan ini," jelasnya.
Lebih lanjut, Sylviana Murni mengaku perlu adanya layanan konsultasi untuk mengatasi permasalahan ini. Ia menyebut hal itu agar masyarakat mampu melewati pandemi Covid-19 yang saat ini masih berlangsung tanpa adanya kekerasan berbasis gender ataupun kekerasan terhadap perempuan dan anak.
"Perlu adanya layanan konsultasi penyelesaian konflik dalam rumah tangga, kesehatan mental dan juga kondisi keuangan melalui lintas Kementrian, sehingga kita melewati fase pandemi ini dengan mental yang stabil dan sehat tanpa kekerasan," tuntasnya.
Sebagaimana diketahui, Hasil studi yang dilakukan oleh United Nations Development Programme (UNDP) dan Abdul Latif Jameel Poverty Action Lab South East Asia (J-PAL SEA) menunjukkan, bahwa sedikitnya 42% masyarakat yang disurvei telah melaporkan mengalami beberapa bentuk kekerasan berbasis gender (gender-based violence/GBV) selama pandemi Covid-19.
Perolehan studi dilakukan secara daring (online) dan melalui wawancara telepon mulai Oktober hingga November 2020, kepada lebih dari 1.000 responden di delapan kota. Sekitar 46,5% responden adalah perempuan, dan para responden berasal dari provinsi Jawa, Bali, Sumatera, serta Kalimantan. (*)