Waka DPD RI Dukung RUU Perampasan Aset Tindak Pidana dan RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal
Wakil Ketua DPD RI, Sultan B Najamudin memberikan dukungan kepada RUU Perampasan Aset Tindak Pidana dan RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal.
Editor: Content Writer
TRIBUNNEWS.COM - Wakil Ketua DPD RI, Sultan B Najamudin melalui keterangan resminya Jumat (02/04/2021) memberikan dukungan kepada RUU Perampasan Aset Tindak Pidana dan RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal.
"Upaya terhadap tindakan pidana harus dikuatkan melalui pembentukan regulasi yang tepat. Pola kejahatan semakin berubah, maka Undang-Undang kita harus menyesuaikan dengan dinamika yang ada. Dan saya sangat yakin kedua RUU tersebut tidak hanya dapat memberikan efek jera kepada koruptor dan pelaku tindak pidana lainnya, tapi juga berorientasi kepada pencegahan transaksi keuangan yang berpotensi melanggar hukum," ujarnya.
Senator muda tersebut menjelaskan bahwa korupsi merupakan suatu kejahatan yang telah mengakar dalam kehidupan berbangsa di Indonesia, mulai dari pemerintah, wakil rakyat, hingga para penegak hukum.
"Kejahatan korupsi adalah kejahatan yang harus diberantas dengan cara yang luar biasa, karena korupsi telah menyengsarakan rakyat, menghambat segala pembangunan, baik pembangunan fisik dan non fisik. Pada dasarnya faktor pemicu seseorang melakukan tindak pidana korupsi salah satunya ialah keserakahan, dan yang dikejar oleh pelaku kejahatan tindak pidana korupsi dan tindak pidana lainnya yang bermotif ekonomi adalah kekayaan, dan sesungguhnya para pelaku tersebut takut akan kemiskinan," ungkapnya.
Maka kita wajib mendukung kedua RUU itu, lanjut Sultan, sebab negara memang sudah semestinya memiliki kewenangan (khusus) formil dalam mengeksekusi pengembalian kerugian yang berasal dari tindak pidana korupsi, narkoba, perpajakan, kepabeanan dan cukai, serta tindak pidana dengan motif ekonomi lainnya.
Saat ini benar apa yang dikemukakan oleh ketua PPATK, tambahnya, bahwa tanpa adanya RUU Perampasan Aset Tindak Pidana dan RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal, Indonesia memiliki kekosongan UU yang dapat dimanfaatkan oleh pelaku kejahatan untuk menyamarkan hasil tindak pidana.
"Semua tanduk yang melawan hukum berkaitan dengan korupsi atau tindak pidana lainnya mendapatkan hukuman bukan hanya dipenjara, tetapi juga harus dimiskinkan. Agar setelah pelaku melewati masa hukuman, mereka tidak bisa melakukan lagi kegiatan kejahatan bahkan tidak dapat menikmati kembali harta yang dimilikinya dari hasil perbuatan melawan hukum. Dan hal ini dapat menghindari orang untuk berbuat kejahatan," tegasnya.
Adapun kedua RUU itu merupakan janji Presiden Joko Widodo atau Jokowi dalam Nawacita 2014-2019 dan masuk dalam RPJMN 2020-2024. Kedua RUU itu pun telah selesai di tingkat pemerintah.
"Bahwa dalam pertemuan beberapa waktu lalu Presiden, Menko polhukam, Bapak Mensesneg, dan Bapak Menkumham sudah menyetujui RUU tersebut," tutur Dian Ediana Rae dalam rapat dengar pendapat Komisi III dengan PPATK, Rabu (24/3/2021).
Mantan wakil Gubernur Bengkulu tersebut juga menyampaikan bahwa apa yang diharapkan kepada kedua RUU tersebut untuk dapat meningkatkan efektifitas pemberantasan tindak pidana ekonomi, dan memperkuat kinerja sistem keuangan dan perekonomian nasional bisa terwujud asalkan komitmen dan integritas para penegak hukum berada pada cita-cita yang sama.
"Selain kita mendorong regulasi kepada kedua RUU ini dapat disahkan, kita juga menginginkan aparat penegak hukum memiliki komitmen yang kuat untuk menjalankan aturan tersebut nantinya. Selama ini upaya-upaya dari hadirnya sebuah regulasi seringkali bertolak belakang dengan fakta dilapangan," bebernya.
Sedangkan dari keterangan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud Md mengatakan, saat ini pemerintah tengah melanjutkan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perampasan Aset. Kendati begitu, dia mengungkapkan bahwa ada pihak-pihak yang takut apabila RUU Perampasan Aset tersebut disahkan.
Menurut dia, RUU Perampasan Aset sebetulnya pernah diusulkan masuk dalam daftar program legislasi nasional (proglenas). Namun, DPR tak menetapkan RUU tersebut sebagai prolegnas prioritas. (*)