Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Kekerasan Seksual Anak Sudah Jadi 'penyakit kronis' Di Kehidupan Sosial Indonesia

Untuk menyelesaikan masalah kekerasan seksual terhadap anak tersebut harus dilihat dari akar permasalahannya

zoom-in Kekerasan Seksual Anak Sudah Jadi 'penyakit kronis'  Di Kehidupan Sosial Indonesia
youtube
Warga membubuhkan tanda tangan sebagai aksi solidaritas terhadap Yuyun, di Taman Kambang Iwak, Palembang. 

TRIBUNNEWS.COM - Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, anggota Komisi VIII DPR RI, menilai bahwa kasus kekerasan seksual terhadap anak sudah seperti 'penyakit kronis' yang menjangkit kehidupan sosial di Indonesia.

Terlihat dari kasus penganiayaan, pemerkosaan, serta pembunuhan terhadap YN (14) di Bengkulu yang menjadi perhatian publik saat ini.

"Kasus YN ini merupakan gambaran kedaruratan yang ada di Indonesia yang menyentuh nasib masa depan generasi penerus bangsa," ungkap Sara (panggilan Rahayu Saraswati Djojohadikusumo) di Jakarta, Kamis (12/05/2016).

Namun menurut politikus Gerindra itu, untuk menyelesaikan masalah kekerasan seksual terhadap anak tersebut harus dilihat dari akar permasalahannya.

"Kita harus melihat akar permasalahannya, agar kita bisa membuat regulasi yang tepat. Dalam kasus YN kita bisa melihat bahwa pelakunya mengkonsumsi minuman keras sebelum melakukan aksi kejinya, padahal beberapa diantara mereka berusia 16 dan 17 tahun yang masuk dalam kategori anak dibawah umur," tutur Sara.

Melihat fenomena itu, muncul pertanyaan bagaimana anak-anak ini dapat akses terhadap minuman keras dan materi pornografi.

Kemudian bagi pelaku yang sudah di atas 18 tahun, yang dikatakan putus sekolah dan tidak mempunyai pekerjaan. Pertanyaan berikutnya, lanjut Sara, dari mana mereka mendapatkan uang untuk membeli minuman keras tersebut.

Berita Rekomendasi

"Hal-hal sepert itu lah yang harus kita cari penyelesainya. Apakah karena faktor kemiskinan yang membuat para pelaku melakukan aksi kejinya karena tidak mendapatkan pendidikan yang baik kaena biaya pendidikan yang tinggi ditambah lagi tidak memiliki pekerjaan yang membuat mereka tidak memiliki aktifitas positif, tidak adanya fasilitas untuk anak dan remaja menyalurkan energi nya untuk hal positif, atau ada faktor lain dari itu semua," imbuhnya.

Admin: Sponsored Content
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas