Harga Bahan Bakar Mahal, DPR Nilai Pemerintah Tidak Berempati Kepada Rakyat
Bambang Haryo Soekartono, anggota Komisi VI DPR RI, menjelaskan kebijakan Pertamina menjual harga bahan bakar BBM lebih mahal tidak berempati rakyat.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Kebijakan PT Pertamina (Persero) menjual bahan bakar minyak bersubsidi dan nonsubsidi lebih mahal dari harga normal dituntut pertanggungjawabannya.
“Pertamina harus menjelaskan kepada publik kemana hasil penjualan BBM yang mahal itu. Jika tidak bisa mempertanggungjawabkannya, berarti Pertamina merampok hak rakyat,“ tegas Anggota Komisi VI DPR RI Bambang Haryo Soekartono, hari Selasa lalu (7/6/2016).
Ironisnya, Pertamina dinilai menjual BBM nonsubsidi lebih mahal dari harga seharusnya, serta menjual BBM subsidi lebih mahal dari BBM nonsubsidi.
Pertamina telah membanderol solar subsidi Rp 5.150 per liter, sementara solar nonsubsidi (industri) hanya dijual Rp 4.500 per liter oleh PT Patra Niaga, anak perusahaan Pertamina, “ujar Bambang. Menurut dia, BUMN telah menjual bensin lebih mahal daripada negara lain.
Bambang memaparkan, harga RON 90 (setara pertalite), misalnya, di Malaysia hanya 1,2 ringgit atau Rp 3.892 per liter, sementara harga pertalite di Indonesia Rp 7.100 per liter. Demikian juga dengan Pertamax Plus (RON 95), Pertamina menjual seharga Rp 8.450 per liter, sedangkan Petronas Malaysia menjualnya 1,7 ringgit atau Rp 5.514 per liter.
Menurut Bambang, Pertamina mengambil keuntungan terlalu besar dari selisih harga jual tersebut,apalagi dari selisih harga BBM subsidi dan nonsubsidi. Dengan asumsi subsidi solar Rp 1.000 per liter dan harga solar industri Rp 4.500 per liter, maka terdapat selisih Rp 1.650 per liter yang masuk kantong Pertamina.Apabila konsumsi normal solar sekitar 30.000 kiloliter per hari, berarti uang subsidi solar yang disedot Pertamina mencapai Rp 49,5 miliar per hari atau Rp17,8 triliun per tahun.
Politisi dari dapil Jatim Iitu juga prihatin karena dalam kondisi seperti ini, pemerintah justru berencana memangkas bahkan menghapus subsidi solar. Dalam rancangan Perubahan APBN 2016 kepada DPR RI, pemerintah memangkas subsidi BBM dan LPG sebesar Rp 23,1 triliun menjadi Rp 40,6 triliun.
Rencana ini disebut sejalan dengan upaya penghematan melalui kebijakan subsidi tetap solar Rp 350 per liter mulai 1 Juli 2016. Bambang menilai pemerintah tidak berempati kepada rakyat yang sudah berkorban menggunakan kendaraan pribadi dan membayar BBM dengan harga mahal akibat transportasi publik dan insfrastruktur yang masih buruk.
“BBM untuk kendaraan pribadi saja masih perlu disubsidi, apalagi untuk transportasi publik dan logistik. Kalau BBM murah, tarif logistik pasti murah, biaya produksi industri berkurang, dan harga barang turun, sehingga daya beli rakyat meningkat. Dampaknya, ekonomi akan tumbuh lebih tinggi,” jelasnya. (Pemberitaan DPR RI)