Dialog Dengan PPI Tunisia, Fadli Zon Bercerita Mahalnya Demokrasi Di Indonesia
Wakil Ketua DPR Fadli Zon berdialog bersama Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Tunisia. Fadli bercerita mengenai demokrasi dan ongkos politik mahal.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mengakhiri kunjungannya di Tunisia, Wakil Ketua DPR Fadli Zon berdialog bersama Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Tunisia.
Di dalam dialog tersebut, Fadli bercerita mengenai demokrasi dan politik semakin mahal.
"Untuk menjadi seorang bupati atau walikota, seseorang butuh dana miliaran rupiah. Untuk menjadi gubernur lebih besar lagi. Demikian juga untuk menjadi anggota DPR, dananya sangat besar.Saya merasakan sendiri, pertarungan politik ini semakin mahal," katanya.
Dialog digelar Selasa malam kemarin waktu setempat di Wisma Duta Kedubes Indonesia untuk Tunisia di Rue du Lac Neuchatel, Les Berges du Lac, Tunis.
Sekitar 50 mahasiswa dan mahasiswi Indonesia yang kuliah di Tunisia hadir di dialog itu. Dubes Indonesia untuk Tunisia Ronny Prasetyo Yuliantoro memimpin langsung proses dialog.
"Pertemuan malam ini sangat berharga dan sangat diharapkan. Kami ingin mendengarkan oleh-oleh di Jakarta, mengenai situasi dan perkembangan yang terjadi di sana. Kami ingin informasi yang A-1. Soalnya selama ini kami terkontaminasi dengan infomasi di internet yang membingungkan," ucap Ronny membuka dialog.
Fadli memulai pemaparannya mengenai tugasnya sebagai Wakil Ketua DPR bidang politik, hukum, dan keamanan (korpolkam).
"Saya mengkoordinator Komisi I, Komisi II, dan Komisi III DPR," jelas politisi Gerindra ini.
Dia kemudian menceritakan pandangan politik yang berkembang di masyarakat saat ini. Banyak masyarakat menganggap bahwa politik buruk. Partai politik dianggap sebagai sumber masalah.
Padahal, kata Fadli, politik dan partai politik sangat penting. Politik adalah cara untuk menyelesaikan masalah dalam dunia demokrasi. Partai politik merupakan pilar penting dalam demokrasi.
"Setiap ada peristiwa, mau revolusi atau reformasi, ujungnya pasti ada Pemilu. Nah, di Pemilu itu, pesertanya adalah partai politik, bukan LSM," ucapnya.
Paparan Fadli ini mengundang diskusi panjang. Ariandi, seorang mahasiswa asal Lombok menyoroti campur aduknya urusan politik dan hukum Indonesia. Muhammad Nugraha, mahasiswa asal Aceh menyoroti lemahnya komitmen elite dalam membangun industri. Kemudian, Rahmat Ilahi, mahasiswa asal Riau mengaku risau dengan gaduhnya politik di Tanah Air.
Fadli mengakui, saat ini hukum memang masih sering menjadi sub ordinat politik.
Padahal, hukum harusnya dijadikan panglima. Untuk industrialisasi, kata dia, diperlukan komitmen pemerintah untuk melaksanakannya.
Sedangkan untuk kegaduhan politik, Fadli menyebut sebagai hal wajar. Yang tidak wajar adalah adanya buzzer di media sosial yang ingin membajak demokrasi.
Fadli yakin, pandangan buruk masyarakat ke politik hanyalah temporer.
Sebab, politik sesungguhnya alat yang netral.
"Semakin banyak orang baik masuk politik, maka politik akan baik. Sebaliknya, semakin banyak orang kotor masuk, politik juga akan menjadi kotor," ungkapnya.
Untuk perkembangan di Indonesia saat ini, ujar Fadli, demokrasi dan politik semakin mahal.
Untuk menjadi seorang bupati atau walikota, seseorang butuh dana miliaran rupiah.
Untuk menjadi gubernur lebih besar lagi. Demikian juga untuk menjadi anggota DPR, dananya sangat besar.
"Saya merasakan sendiri, pertarungan politik ini semakin mahal."ujarnya.
Situasi ini, kata Fadli, harus segera dievaluasi. Jika tidak, posisi-posisi strategis dan jabatan penting hanya bisa dipegang oleh orang-orang yang punya uang atau yang didukung pemodal.
"Yang lebih bahaya lagi adalah, terjadi silent takeover sumber daya alam Indonesia oleh kekuatan modal tadi. Mereka dengan gampang memberi modal ke calon pemimpin, setelahnya akan dapat lesensi untuk mengelola sumber daya alam itu," jelasnya. (Pemberitaan DPR RI)