Satu Tahun Sejak Kudeta Junta Militer, Fadli Zon Desak Pemulihan Demokrasi di Myanmar
Menurutnya, secara keseluruhan dampak krisis karena kudeta Junta Militer Myanmar berpeluang meluas dan mengganggu stabilitas kawasan.
Editor: Content Writer
Pihaknya menyampaikan kekecewaan atas komentar Perdana Menteri Kamboja Hun Sen paska kunjungannya ke Myanmar, yang mengatakan bahwa situasi di Myanmar sangat membingungkan karena terdapat dua pemerintahan, yaitu Junta Militer dan pemerintahan bayangan yang direpresentasikan oleh National Unity Government (NUG).
Bagi CRPH, pemerintahan Junta Militer jelas tidak sah dan tidak mewakili rakyat Myanmar. ‘’Seharusnya Hun Sen bertemu dengan NUG bukan Junta Militer,’’ demikian disampaikannya.
Di sisi lain, CRPH menyampaikan sangat berterima kasih kepada Indonesia atas perannya di ASEAN, serta secara spesifik pada BKSAP DPR RI yang menunjukkan dukungannya terhadap pemulihan demokrasi di Myanmar pada forum AIPA.
CRPH juga berterima kasih pada negara-negara ASEAN yang terus berupaya untuk mendesak agar Junta Militer segera menerapkan Five-Consensus ASEAN seperti Indonesia, Malaysia, Singapura dan Filipina.
Menanggapi CRPH, Ketua BKSAP menyampaikan bahwa ke depan, setelah Gerakan Demokrasi di Myanmar berhasil memulihkan pemerintahan sipil yang sah, maka semua pihak termasuk kelompok etnis di Myanmar seperti Rohingya harus dilibatkan dalam proses perumusan Konstitusi baru.
Sehingga demokrasi di Myanmar dapat berkembang menjadi demokrasi yang inklusif.
Di samping itu, Ketua BKSAP juga menyampaikan bahwa ia akan terus konsisten dalam menyuarakan pemulihan demokrasi di Myanmar, serta meminta Pemerintah Republik Indonesia untuk terus mendesak Junta Militer agar segera menjalankan Five-Point Consensus ASEAN yang secara keseluruhan fokus pada: 1) Perlindungan masyarakat sipil 2) Pemulihan demokrasi dan 3) Urgensi pemeliharaan stabilitas Kawasan. (*)