Tanggapan Saleh Partaonan soal Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 Tentang JHT
Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi PAN, Saleh Partaonan Daulay memberikan tanggapan soal Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 tentang pencairan JHT.
Editor: Content Writer
TRIBUNNEWS.COM - Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi PAN, Saleh Partaonan Daulay memberikan tanggapan soal Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua (JHT). Dia mengaku belum mendapatkan keterangan yang jelas terkait Permenaker itu.
Bahkan dalam rapat-rapat dengan Kemenaker dan BPJS Ketenagakerjaan soal mekanisme pencairan JHT tidak dibicarakan secara khusus. Saleh menyatakan bahwa perubahan ini belum disampaikan secara komprehensif.
Lebih lanjut, dirinya juga mengatakan penetapan kebijakan seperti ini harus lebih dulu di-sounding ke DPR.
"Mestinya, rencana terkait penetapan kebijakan ini sudah di-sounding dulu ke DPR. Mulai dari payung hukumnya, manfaatnya bagi pekerja, sampai pada keberlangsungan program JHT ke depan. Dengan begitu, kalau ditanya, kita juga bisa menjelaskan,” kata Saleh.
Menurutnya, Permenaker ini harus benar-benar dipastikan agar tidak merugikan para pekerja di seluruh Indonesia. Sejak diterbitkan, kebijakan ini memang mengundang banyak kontroversial dan terjadi perdebatan di berbagai pihak.
"Para pekerja kelihatannya merasa sering ditinggalkan. Ada banyak kebijakan pemerintah yang seakan diputus secara sepihak. Mulai dari UU Ciptaker sampai pada persoalan upah minum. Hari ini, ada pula persoalan JHT yang hanya bisa ditarik setelah 56 tahun. Saya dengar, alasan pemerintah adalah agar tidak terjadi double klaim. Di satu pihak ada Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP), di pihak lain ada JHT. Lalu, katanya, kebijakan ini juga dimaksudkan untuk mengembalikan fungsi JHT ke tujuan awalnya,” jelasnya lagi.
Saleh juga mengingatkan bahwa Permenaker punya peluang untuk melanggar keputusan Mahkamah Konstitusi terkait UU Ciptaker.
"Masalahnya, JKP itu kan payung hukumnya adalah UU Ciptaker. Apakah sudah bisa diberlakukan? Bukankah permenaker ini dikeluarkan setelah putusan MK yang menyatakan UU ciptaker inkonstitusional bersyarat? Kalaupun misalnya JKP sudah boleh diberlakukan, lalu mengapa JHT harus 56 tahun? Apa tidak boleh misalnya diambil berdasarkan situasi dan kondisi pekerja? Katakanlah, misalnya, karena kondisi pekerja yang sangat sulit, lalu dibolehkan dapat JKP dan JHT? Atau banyak opsi lain yang dimungkinkan,” ucapnya.
Politikus berusia 47 tahun itu juga menilai bahwa kebijakan ini kurang sosialisasi alias belum maksimal dalam mengedukasi masyarakat terkait JKP.
“Selain itu, saya melihat bahwa kebijakan ini kurang sosialisasi. Artinya, kementerian ketenagakerjaan belum maksimal mengedukasi masyarakat terkait JKP. Kalau betul JKP ini bagus, tentu masyarakat akan mendukung. Saya melihat bahwa permenaker No. 2/2022 masih sangat layak untuk diperbincangkan di publik. Diskusi publik itu dimaksudkan untuk mendapatkan masukan dari masyarakat, terutama dari kalangan pekerja. Kalau hasil diskusi publik itu ternyata menyebut bahwa permenaker ini merugikan para pekerja, kita mendorong agar permenaker ini dicabut,” katanya.
"Harus dibuka ruang untuk diskusi. Tidak baik juga kalau suatu kebijakan strategis tidak melibatkan pihak-pihak terkait,” tutupnya.