Tepat! Kerabat Gubernur Dilarang Ikut Pilkada
RUU Pilkada yang menyebut kerabat kepala daerah seperti gubernur, bupati, dan walikota dilarang mencalonkan diri sebagai kepala daerah.
Penulis: Hasanudin Aco
Editor: Anita K Wardhani
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Hasanuddin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat Politik Ray Rangkuti sepakat dengan draf Rancangan Undang-undang (RUU) Pilkada yang menyebut kerabat kepala daerah seperti gubernur, bupati, dan walikota dilarang mencalonkan diri sebagai kepala daerah.
"Setuju dengan draf itu. Memang sudah sebaiknya ada ketentuan dibuat yang menyatakan bahwa kerabat dari kepala daerah yang masih menjabat dilarang untuk ikut pada pencalonan berikut hingga jeda minimal 1 masa bakti," kata Ray ketika dikonfirmasi Tribunnews.com, Minggu (10/6/2012).
Akhir pekan lalu di gedung DPR Jakarta, Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso menyebut dalam draf RUU Pilkada yang sedang digarap Dewan disebutkan salah satu pasal menyebut kerabat kepala daerah seperti saudara, anak, dan anggota keluarga atau kerabat dilarang mencalonkan diri jadi kepala daerah.
Menurut Ray, pelarangan ini bertujuan untuk mencegah penyalahgunaan jabatan kepala daerah aktif selama ia berkuasa. Selain itu adanya UU ini agar kekuasaan politik dalam negara demokratis sejatinya dapat disebar dan dibagi-bagi dapat dilaksanakan.
"Dengan begitu, kekuasaan tidak menumpuk di tangan satu keluarga (dinasti)," kata Ray.
Dikatakan ini busa membuat demokrasi seolah kehilangan tujuan-tujuan utamanya yakni pembagian kekuasaan secara meluas.
"Larangan ini agar kontrol lebih dapat dilaksanakan. Kekuasaan yang menebal akan membuat kekuasaan makin sulit dikontrol," katanya.
Dimana, lanjut Ray, ujung-ujungnya akan ada sikap permisifitas atas suasana yang terjadi.
"Pengawasan yang melemah membuat kekuasaan akan tamak. Oleh karena itu, ketentuan ini benar adanya," katanya.
Menurut Ray larangan ini juga tidak melanggar HAM sebab pokok soalnya bukan ada pelarangan tetapi pengaturan agar kerabat politik tidak menumpuk kekuasaan dengan membuat jeda.
"Itu sama dengan ketentuan yang membatasi masa priode jabatan politik eksekutif yang hanya bisa dilakukan dua kali masa bakti," ujarnya.