Vicente Del Bosque, Kakek Pelatih yang Rendah Hati
Vicente Del Bosque memiliki penampilan khas seorang kakek, yang memancarkan kebijaksanaan, dan kerendahan hati
TRIBUNNEWS.COM – Vicente Del Bosque memiliki penampilan khas seorang kakek, yang memancarkan kebijaksanaan, dan kerendahan hati. Penampilan bersahaja itu tetap dipertahankan sekali pun ia telah menjadi pelatih kedua dalam sejarah yang memenangkan back-to-back gelar juara Piala Dunia, dan Piala Eropa.
Del Bosque menambahkan trofi lagi untuk negaranya ketika Spanyol menjadi negara pertama di Eropa yang sukses mempertahankan gelar juara setelah menggilas Italia 4-0 pada partai final, kemarin.
Ia menyamai rekor pelatih Jerman Barat, Helmut Schoen sebagai pelatih yang telah menenangi gelar juara Piala Dunia, dan Piala Eropa secara berturut-turut. Schoen meraih Euro 1972 dan Piala Dunia 1974 bersama timnya.
Toh, dengan gayanya yang rendah hati, Del Bosque malah merujuk pada keberhasilan yang dimulai oleh pendahulunya Luis Aragones, yang dinilainya telah meletakkan pondasi tim hebat yang membuat mereka merebut gelar juara di Euro 2008.
"Dengan kemenangan di Wina, Luis Aragones memperlihatkan jalan itu kepada kami dan sekarang kami hanya perlu melaluinya," tuturnya. "Saya ingin mendedikasikan kemenangan untuk semua orang yang telah berpartisipasi dalam keberhasilan selama tahun-tahun terakhir, orang-orang yang telah membantu menciptakan apa yang kita kenal sekarang sebagai tim nasional Spanyol," kata Del Bosque.
Pria 61 tahun ini telah melengkapi prestasi dirinya dengan meraih trofi Piala Eropa. Sebelumnya bersama Real Madrid ia pernah merebut sepasang trofi Piala Champions, dan trofi juara La Liga, Intercontinental cup, dan European Super Cup.
Ia juga tercatat menjadi pelatih kelima yang pernah membawa timnya menjuarai Piala Dunia, Piala Eropa, dan Liga Champions.
Pria asal Salamanca ini memang punya sejumlah kelebihan yang tak dimiliki pelatih lain. Saat di Real Madrid, ia sukses menekan ego dari tiga pemain bintang yang sedang jaya-jayanya ketika itu, Zinedine Zidane, Luis Figo, dan Ronaldo. Ego mereka dilebur menjadi kekuatan yang jadi sumber energi Los Galacticos.
Komitmennya dengan filosofi "Tiki Taka" yang jadi ciri khas permainan Spanyol, juga tak kunjung surut. Meski belakangan ia menambahkan elemen baru dengan lebih memperkuat lini pertahanan hingga banyak orang menyebut filosofi Del Bosque sekarang adalah "Tiki Takanaccio", merujuk pada strategi pertahanan ketat Catenaccio ala Italia.
"Yang kami inginkan adalah menunjukkan gaya bermain kami yang bagi kami sangat menyenangkan, dan dengan gaya itu kami mencoba memenangkan pertandingan," ujar Del Bosque.
Jelang Piala Eropa, krisis cedera sempat menghampiri Matador hingga banyak orang memprediksi La Furia Roja bakal sulit untuk mempertahankan gelar juara. Krisis pertama datang ketika bek sentral andalan, Carles Puyol dihantam cedera.
Pukulan kedua datang lebih parah lagi ketika striker utama, David Villa, juga tak bisa ikut karena mengalami cedera akut. Del Bosque tak kehilangan akal. Ia melakukan kejutan dengan menurunkan enam gelandang, tanpa seorang pun striker saat melawan Italia. Kemudian hari, ia memasang Fernando Torres, dan selanjutnya Alvaro Negredo.
Namun pilihan pada enam gelandang tanpa striker sepertinya menjadi favoritnya. Seperti juga yang diperlihatkan di partai final dimana ia memilih memainkan gelandang Barcelona, Cesc Fabregas, sebagai "penyerang palsu" di ujung lini depannya.
Namun Del Bosque menepis tudingan bahwa dirinya merevolusi permainan dengan invasi taktiknya. "Bukan hanya ada satu cara untuk memainkan sepak bola," ucapnya. "Hal terpenting adalah mencetak gol. Kami memiliki tim yang sangat seimbang. Kami memiliki jaminan kemenangan pada pemain-pemain kami. Kami memiliki penyerang-penyerang hebat, namun kami memilih untuk bermain dengan pemain-pemain yang lebih baik dengan gaya kami," katanya.
Usai meraih trofi juara Euro 2012, Del Bosque lalu menatap Piala Dunia 2014. "Akan ada lebih banyak tantangan. Terdapat kualifikasi untuk Piala Dunia 2014, dengan Finlandia, Prancis, Belarus, dan Georgia di grup kami, dan kemudian Piala Konfederasi, di saat kami akan kembali mewakili Eropa dan ingin melakukannya dengan baik," tutur sang kakek. (Tribunnews/den)