Puasa Arafah Tidak Harus Mengikuti Waktu Wukuf? Ini Penjelasannya
Apakah puasa Arafah harus mengikuti waktu wukuf atau tetap dilakukan pada 9 Dzulhijjah sesuai tanggal yang ditetepkan di daerah setempat? Ini dalilnya
Penulis: Arif Tio Buqi Abdulah
Editor: Siti Nurjannah Wulandari
Di pagi harinya Nabi Ibrahim masih berfikir-fikir tentang kebenaran mimpi itu apakah dari Allah atau datangnya dari syetan.
Keraguan dan berfikir ini dalam bahasa Arab adalah Tarwiyah.
Pada malam tanggal 9 Zulhijah Nabi Ibrahim kembali bermimpi kejadian yang sama, perintah menyembelih putranya, maka Nabi Ibrahim mengetahui bahwa mimpi tersebut adalah wahyu Allah.
Baca juga: Apa Itu Wukuf? Puncak Ibadah Haji yang Wajib Dilakukan pada 9 Dzulhijjah di Padang Arafah
Rasulullah sendiri sudah melaksanakan puasa Arafah pada 9 Dzulhijjah pada tahun 2 Hijriyah, jauh sebelum Rasulullah melakukan wukuf di Arafah pada haji wada tahun 10 hijriah.
عن أمِّ الفضلِ بنتِ الحارثِ: "أنَّ ناسًا تمارَوا عندها يومَ عَرفةَ في صومِ النبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم؛ فقال بعضُهم: هو صائمٌ، وقال بعضُهم: ليس بصائمٍ. [أخرجه البخاري (1988) واللفظ له، ومسلم (1123)].
Diriwayatkan dari Ummi al-Fadhl binti al-Harits yang bercerita, "Sekelompok sahabat berselisih dekat Ummi al-Fadhl saat hari Arafah mengenai puasa Nabi. Sebagian mereka berpendapat Nabi berpuasa, dan sebagian lain berpendapat Nabi tidak berpuasa (HR Bukhari dan Muslim)
هذا يُشعِرُ بأنَّ صومَ يومِ عَرفةَ كان معروفًا عندهم، مُعتادًا لهم في الحضَرِ
Ini menunjukkan bahwa puasa Arafah sudah dikenal di kalangan para Sahabat dan mereka terbiasa untuk puasa saat berdomisili/tidak bepergian." (Fath Al-Bari, 4/237)
Perbedaan Penentuan Tanggal
Adanya perbedaan tanggal bulan Qomariyah ini dikarenakan perbedaan metode dalam menetapkan 1 bulan qomariyah yakni Rukyah dan Hisab.
Dikutip dari laman MUI, mengenai pendapat ulama tentang perbedaan terbitnya bulan harus ikut ke mana, Jumhur ulama Malikiyah, Hanafiah dan Hanabilah berpendapat cukup satu tempat melihat bulan, di negara lain ikut lebaran walaupun tempatnya jauh.
Berbeda dengan pendapat Syafi’iyah setiap tempat yang lebih 24 farsakh atau sekitar 57 kilometer sudah tidak wajib ikut ketentuan penentuan di tempat itu atau harus ikut ketentuan pemerintah di mana dia bermukim.
Pendapat Syafi’iyah inilah yang dianut saat ini di Indonesia karena ketentuan lebaran di Mekah tidak diikuti sebab berbeda tempat terbitnya bulan.
(Tribunnews.com/Tio)