Lee Kuan Yew Dicinta juga Dibenci
Ia memimpin bengsanya untuk melepaskan diri dari Malaysia di tahun 1965 dan membentuk negara negara independen
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Lee Kuan Yew selamanya akan dikenang sebagai orang yang mengubah sebuah pos perdagangan kolonial yang kumuh menjadi pusat keuangan yang makmur dengan jalan-jalan yang bersih, gedung pencakar langit berkilauan dan pemerintahan yang stabil.
Lahir di tahun 1923, Lee menjadi Perdana Menteri pada tahun 1959 ketika Singapura, tanah tanpa sumber daya alam yang didiami oleh masyarakat heterogen yang terdiri dari Tiongkok, Melayu dan India, masih berada wilayah Inggris dan dilanda kerusuhan demi kerusuhan.
Ia memimpin bengsanya untuk melepaskan diri dari Malaysia di tahun 1965 dan membentuk negara negara independen yang kini menjadi pusat kekuatan ekonomi global.
"Saya mencoba untuk membuat, dalam situasi dunia ketiga, sebuah oasis pertama dunia," ujar Lee, dalam wawancara dengan CNN pada tahun 2008.
Meskipun memiliki segudang prestasi, Lee menjadi tokoh juga menjadi tokoh yang dibenci di Singapura. Ia sering mendapat kritik karena kebijakan politiknya yang mencekik kebebasan pers dan perlakuan 'kejam terhadap lawan-lawan politiknya.
Pemerintahannya menciptakan banyak produk perundang-undangan yang secara ketat mengatur kehidupan rakyatnya, termasuk media, kebebasan politik, sensor, dan bahkan menjual permen karet.
Di tahun 2014 Singapura berada di peringkat ke 150 dalam Indeks Kebebasan Media versi Reporter Tanpa Batas, tepat di atas Republik Demokratik Kongo, Meksiko , dan Irak.
Selain di bidang media, pemerintahan yang dipimpin Lee juga menuai kritik di bidang politik dan kebijakan publik.
Di tahun 2013, keresahan menyeruak di tengah-tengah masyarakat Singapura, setelah Partai Aksi Rakyat menetapkan visi negara yang memungkinkan lebih banyak imigran masuk ke Singapura.
Partai Aksi Rakyat, adalah partai yang dimpimpin oleh Lee dan telah memerintah Singapura selama lima dekade terakhir.
Dalam sebuah artikel di tahun 2014,politisi oposisi Singapura, Dr Chee Soon Juan mengkritik sistem otoriter Singapura, menyalahkan kurangnya perbedaan pandangan untuk ketidaksetaraan ekonomi dan memburuknya kondisi kerja.
"Jajaran oposisi, masyarakat sipil dan gerakan buruh telah hancur dalam 50 tahun terakhir melalui penjara tanpa pengadilan dan penuntutan pidana, dan hampir setiap surat kabar, saluran dan radio TV stasiun dimiliki dan dijalankan oleh negara," kata Chee.
Namun dalam sebuah wawancara 2008 dengan CNN, Lee menolak tuduhan bahwa Pemerintah Singapura terlalu dominan terhadap masyarakatnya.
"Saya menginginkan perdamaian dan stabilitas sosial di dalam negeri. Saya tidak mengikuti resep yang diberikan kepada saya oleh teoretisi demokrasi," katanya.