Saking Sibuknya, Jokowi Tak Mau Menerima Telepon PM Australia
Upaya-upaya Australia untuk menyelamatkan nyawa dua terpidana Australia telah merenggangkan hubungan diplomatik antara kedua negara.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, CANBERRA - Presiden Joko Widodo terlalu sibuk dalam tiga minggu terakhir untuk menerima panggilan telepon Perdana Menteri Australia, Tony Abbott, yang memohon ampunan bagi dua terpidana hukuman mati asal negara itu.
Duta Besar Indonesia untuk Australia, Nadjib Riphat Kesoema, mengemukakan hal itu di Canberra, Kamis (26/3/2015).
Tony Abbott mengatakan kepada wartawan pada 5 Maret bahwa ia telah mengajukan permintaan untuk berbicara di telepon dengan Presiden Jokowi mengenai eksekusi yang akan dilakukan terhadap pengedar heroin asal Australia, Andrew Chan (31 tahun) dan Myuran Sukumaran (33).
Nadjib Riphat Kesoema menyangkal dugaan ada penolakan diplomatik. "Presiden sangat sibuk," ujar Nadjib pada wartawan di Canberra.
"Karena, seperti yang Anda ketahui, program pertama presiden adalah rakyat, daerah-daerah, tidak hanya di Jawa, di Kalimantan dan Sumatra, tapi juga di Papua. Jadi banyak sekali kunjungan yang harus beliau lakukan," ujarnya.
Upaya-upaya Australia untuk menyelamatkan nyawa dua terpidana Australia telah merenggangkan hubungan diplomatik antara kedua negara.
Sementara itu, para pengacara Chan dan Sukumaran menyerahkan bukti ke pengadilan administratif di Jakarta, Rabu, untuk mendukung pengajuan naik banding atas penolakan pengampunan dari Presiden.
Sidang ditunda sampai Senin untuk mendengar saksi ahli.
Chan dan Sukumaran merupakan pemimpin lingkaran sembilan warga Australia yang ditahan pada April 2005 karena mencoba menyelundupkan lebih dari 8 kilogram heroin dari Bali ke Sydney.
Selain mereka, ada tiga warga Nigeria, seorang perempuan Filipina, dan empat pria dari Brasil, Perancis, Ghana dan Indonesia, yang dijadwalkan akan dieksekusi.
Mahkamah Agung Indonesia pada Kamis menolak kajian yudisial yang diajukan oleh Mary Jane Fiesta Veloso dari Filipina.
"Permintaannya ditolak karena ia tidak memenuhi syarat untuk kajian yudisial," ujar juru bicara MA, Suhadi.
"Pengajuan seperti itu harus memberikan bukti baru atau bukti adanya kontradiksi dalam keputusan sebelumnya, atau kesalahan atau kelalaian di pengadilan-pengadilan yang lebih rendah."
Penolakan itu hanya menyisakan Serge Areski Atlaoui dari Perancis dan Martin Anderson dari Ghana yang masih menunggu hasil pengajuan kajian yudisial ke Mahkamah Agung.
Semua terpidana hukuman mati tersebut telah dipindahkan ke Nusakambangan untuk dieksekusi, kecuali Veloso yang masih ditahan di penjara Wirogunan, Sleman di Jawa Tengah. [Sumber: VOAIndonesia].