James Riady Gandeng Konglomerat Myanmar Kibarkan Bendera RS Siloam di Yangon
Siloam menaikan gaji dokter berkali-kali lipat agar para dokter fokus melayani pasien
Penulis: Dahlan Dahi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Dahlan Dahi, dari Yangon, Myanmar
TRIBUNNEWS.COM - James Riady, bos Lippo Group, menggandeng salah satu konglomerat terbesar Myanmar (dulu Burma), Serge Pun & Associates (SPA).
Kedua konglomerat Asia itu berkongsi mengembangkan Pun Hlaing Hospital di Yangon milik SPA menjadi rumah sakit berstandar internasional pertama di Myanmar.
Nama rumah sakit pun berubah menjadi Pun Hlaing Siloam Hospital. Rumah sakit ini akan diresmikan hari Sabtu, 6 Juni 2015.
Serge Pun adalah satu dari segelintir pengusaha Myanmar yang bebas dari dampak sanksi ekonomi Amerika Serikat dan Eropa atas rezim junta militer di Myanmar.
Pengusaha berambut putih ini mengembangkan bisnis mulai dari properti, lapangan golf, hingga rumah sakit.
"Mister James Riady, terima kasih telah membawa rumah sakit standar internasional ke sini," kata Serge Pun dalam sambutan berbahasa Inggris di acara sarapan pagi, Jumat (5/6/2015).
James Riady di Pun Hliang Siloam Hospital, Yangon, Myanmar.
Serge Pun menjamu James Riady dan rombongan di lapangan golf miliknya, Pun Hlaing Golf Estate.
Lapangan golf ini asri, salah satu yang terbesar di Myanmar.
James Riady, yang mengenakan baju lengan panjang putih dan dasi, nampak tersenyum di ujung meja.
Di sebelah kirinya duduk Dr Hasan Wirajuda, mantan Menteri Luar Negeri RI yang berjasa besar memfasilitasi perdamaian di Myanmar.
Dialah yang mendorong pengusaha Indonesia untuk menanamkan investasi di Myanmar. Lippo Group salah satu yang menyambutnya.
Di meja VIP tampak pula Ito Sumardi, Dubes RI untuk Myanmar, Dr Farid Husain (Ketua Dewan Medis BPJS Kesehatan), Emirsyah Satar (mantan Dirut Garuda Indonesia), dan Pius Lustrilanang, anggota Komisi IX DPR RI dari Partai Gerindra.
"Siloam membawa standar rumah sakit berkelas internasional ke Myanmar," sekali lagi Serge Pun memuji Lippo Group, disambut tepuk tangan.
Myanmar masih terbelakang dalam hal fasilitas kesehatan.
Warga kelas atas memilih terbang ke negara tetangga seperti Kamboja, Tiongkok, atau bahkan ke Singapura dan Malaysia untuk berobat.
Rumah sakit pemerintah, General Hospital Yangon, sangat jauh dari standar yang nyaman.
Pasien --yang kebanyakan bersarung-- berikut keluarganya memenuhi lorong-lorong rumah sakit, menggelar tikar, sambil makan nasi rantangan. Sebagian dari mereka mengunyah sirih.
Dalam sambutan balasannya, James Riady memuji Serge Pun sebagai pengusaha sukses di Myanmar.
Bersama Serge, Lippo Group ingin mewujudkan visi melakukan transformasi manusia melalui pembangunan fasilitas kesehatan.
"Kerja sama ini didorong oleh jiwa kebersamaan Asia," komentar James Riady, tokoh di balik usaha konglomerasi Lippo mulai dari jaringan retail (Matahari dan Hypermart), properti, bank, rumah sakit, sekolah dan universitas, hingga media massa.
"Myanmar adalah adik Indonesia. Indonesia saudara tua ASEAN," kata James Riady tentang alasan Lippo Group mengembangkan sayap ke pasar ASEAN.
Dalam tiga sampai lima tahun ke depan, katanya, Siloam akan membangun 12-15 rumah sakit di Myanmar, tujuh di antaranya di Yangon.
James Riady juga menjelaskan, Siloam pada waktu yang bersamaan sedang merintis pembangunan rumah sakit di Vietnam, Kamboja, dan Nepal.
"Nepal sedang tumbuh. Banyak mahasiswa dari Nepal yang belajar di Universitas Pelita Harapan (UPH milik Lippo). Para pengusaha Nepal juga datang belajar ke Indonesia," kata James.
"Kami juga sedang menjajaki Srilanka. Kami akan masuk ke sana 2-3 tahun ke depan," tambahnya.
Ditanya tentang sumber pembiayaan untuk investasi di Myanmar, James Riady menjelaskan, kondisi perbankan di Myanmar masih belum menunjang untuk mengucurkan kredit.
Negara junta militer ini juga dikenai sanksi ekonomi oleh Amerika Serikat dan Eropa.
"Satu-satunya jalan, ya, membiaya sendiri," ujar James Riady. Satu rumah sakit, katanya, membutuhkan investasi sekitar 50 juta dolar Amerika Serikat.
Seusai sarapan, James Riady dan Serge Pun meninjau persiapan peresmian Pun Hlaing Siloam Hospital.
Begitu masuk ke kawasan rumah sakit yang tidak jauh dari lapangan golf, "bendera" Siloam sudah mulai terlihat. Papan nama rumah sakit sudah dilengkapi kata "Siloam".
Rumah sakit ini sebenarnya sudah berdiri cukup lama namun masih sepi pasien. Jumlah tempat tidurnya pun terbatas, hanya 60.
Enam bulan terakhir, Siloam menyulap rumah sakit ini menjadi modern. Dinding dicat, plafon dirapikan. Bunga-bunga diletakan menghiasi bagian dalam maupun luar bangunan rumah sakit.
Ada kolam di samping kiri rumah sakit, tempat pohon teratai tumbuh subur. Dedaunan rindang di sekitar rumah sakit mengesankan rumah sakit ini lebih mirip club house lapangan golf.
"Coba bandingkan?" teriak dokter Gershu Paul kepada Tribunnews.com. "Tidak ada bedanya dengan Siloam Lippo Karawaci, bukan?"
Dokter Paul adalah warga Selandia Baru. Sembilan tahun terakhir, Dokter Paul merupakan arsitek di balik sukses Siloam di Indonesia.
Dalam tempo singkat, Siloam telah membangun dan mengoperasikan 20 rumah sakit di 13 kota.
"Kami tinggal copy-paste Siloam di Indonesia," kata Dokter Paul. "Karena itulah, enam bulan cukup untuk menyulap rumah sakit ini."
Pun Hlaing Siloam Hospital, tempat Dokter Paul menjadi CEO, kini memiliki 174 kamar, peralatan kedokteran standar internasional, dan alat scan otak dan jantung seharga 2 juta dolar AS.
Dokter yang mengoperasikan alat mahal itu pun didatangkan dari luar negeri. Dia dari Belanda.
Siloam mengambil langkah berani untuk menjamin pasien mendapatkan dokter terbaik.
Seperti halnya dokter di Indonesia, dokter di Myanmar sibuk mencari duit, melayani pasien dari rumah sakit ke rumah sakit sehingga tidak fokus menangani pasien.
"Kami menaikan gaji dokter berkali-kali lipat agar para dokter fokus melayani pasien. Mereka hanya bekerja di Siloam, tidak di tempat lain. Jumlah mereka 20 orang," kata Dokter Paul.
Pasien sekarang membanjiri Pun Hlaing Siloam Hospital di tengah kesibukan rumah sakit itu menyambut peresmian hari Sabtu.(*)