Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Chatib Basri: Korupsi Zaman Soeharto Lebih Efisien

Zaman Presiden Soeharto korupsi dilakukan efisien hanya kepada satu single family, lalu settle sampai ke bagian bawah pemerintahan

Editor: Johnson Simanjuntak
zoom-in Chatib Basri: Korupsi Zaman Soeharto Lebih Efisien
Foto Richard Susilo
Muhamad Chatib Basri kelahiran Jakarta 22 Agustus 1966 

Laporan Koresponden Tribunnews.com, Richard Susilo dari Tokyo

TRIBUNNEWS.COM, TOKYO - Apa bedanya korupsi zaman dulu terutama zaman Presiden Soeharto dengan zaman sekarang? Ternyata zaman Presiden Soeharto merupakan korupsi yang efisien, dan korupsi zaman sekarang semua serba tidak pasti dan banyak pengeluaran.

"Zaman Presiden Soeharto korupsi dilakukan efisien hanya kepada satu single family, lalu settle sampai ke bagian bawah pemerintahan," papar Muhamad Chatib Basri dalam diskusinya di Forum Hubungan Internasional Jepang (JFIR) sore ini (9/10/2015).

Lalu bagaimana korupsi zaman kini? Menurutnya penuh dengan ketidakpastian, "Sesuatu yang tidak pasti di organisasi yang tidak pasti juga. Kalau kini banyak sekali pengeluaran untuk korupsi dan penuh dengan ketidakpastian," katanya.

Basri mencontohkan saat dirinya menjadi Menteri Keuangan, bagaimana supaya pemerintahan daerah bisa lebih efektif dan lebih baik lagi dengan pola Reward (hadiah) dan Penalty (hukuman).

"Ternyata sistem tersebut pun tak bisa jalan juga. Pemda akhirnya menyalahkan kembali pemerintah pusat karena uang tidak disalurkan. Pemerintah pusat tidak menyalurkan uang karena proyeknya memang tidak dijalankan pemda dalam sistem Reward & Penalty tersebut."

Selain itu Basri juga mengungkapkan idenya kepada pemerintah saat dirinya di pemerintahan agar Pemerintah Indonesia investasi di Myanmar atau Kamboja atau Laos untuk membeli lahan padi, produksi padi di sana, lalu impor ke Indonesia.

BERITA REKOMENDASI

"Tapi ide saya tidak bisa diterima, bahkan dipertanyakan mengapa tidak produksi di dalam Indonesia? Secara politis kalau investasi di luar negeri sudah pasti ditentang keras."

Ide Basri membuat beras di luar Indonesia karena Indonesia menurutnya harus ikut dalam production network secara global, kalau tidak demikian agak tertinggal.

Populasi Indonesia sangat besar sekali perlu beras yang besar juga, perlu finansial sektor yang kuat dan dampak dari masalah dunia kini akan sangat hebat bagi suatu negara kalau negara itu tidak ikut dalam jaringan produksi global.

"Apalagi Tiongkok tidak jelas, tidak ada yang tahu berapa persen perkembangan ekonominya. Ada yang mengatakan nol persen, ada yang mengatakan 4%, semua serba tidak jelas. Jadi kalau mendadak Tiongkok jatuh, global akan terkena dampaknya cukup berat juga saat ini. Untuk menghadapi dampak Tiongkok tersebut, kita perlu ikut dalam jaringan produksi dunia bersama-sama, tidak hanya percaya pada diri sendiri saja di zaman sekarang."

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas