Sang Ibu Nikahi Anak Kandung karena Tak Rela Diambil Wanita Lain
Cinta memang tak mengenal batas usia, wilayah, jenis kelamin, dan berbagai aspek lain.
Laporan Wartawan Tribun Sumsel Muhamad Edward
TRIBUNNEWS.COM, ZIMBABWE - Cinta memang tak mengenal batas usia, wilayah, jenis kelamin, dan berbagai aspek lain.
Namun, apa jadinya jika seorang ibu begitu menyayangi putranya hingga ingin menjalin hubungan asmara?
Ibu ini telah merawat anaknya sampai dewasa dan mapan.
Dilansir Elitereaders, atas jasanya yang tak terbatas itu, sang ibu tidak rela jika anak laki-lakinya jatuh cinta pada wanita selain dirinya.
Hal inilah yang terjadi di Zimbabwe. Ibu bernama Betty Mbereko menikah dengan anaknya sendiri atas dasar sama-sama suka.
Mereka pun berniat meresmikan hubungannya melalui pernikahan yang sah.
Wanita 40 tahun ini juga tengah hamil besar hasil dari hubungan incest (sedarah) dengan putra kandungnya.
Dikutip dailyguideghana, Betty sudah menjada 12 tahun dan tinggal bersama anaknya, Farai Mbereko (23).
Betty merasa bangga karena berhasil merawat Farai sampai dewasa dan menjadi orang sukses.
Usai suaminya meninggal, ibu ini makin merasa mempunyai hak atas putranya tersebut dan berhak untuk menikah dengan Farai.
Tak disangka, Farai juga mendukung aksi gila ibunya.
Ia juga siap untuk menikah dengan Betty.
Banyak orang tak menyetujui hubungan cinta ibu dan anak ini karena dinilai bertentangan dengan norma dan agama.
Saat kepala desa menyodorkan pilihan untuk mereka menikah atau pergi dari desa, keduanya memutuskan pergi meninggalkan desa dan menikah di tempat lain.
'Di sini, anak bisa nikahi ibunya'
Bagi masyarakat umum, kawin dengan saudara kandung merupakan sebuah pantangan, dan bahkan tidak bisa ditoleransi.
Namun, hal itu tidak berlaku bagi suku Polahi di pedalaman Gorontalo.
Mereka hingga saat ini justru hanya kawin dengan sesama saudara mereka.
"Tidak ada pilihan lain. Kalau di kampung banyak orang, di sini hanya kami. Jadi kawin saja dengan saudara," ujar Mama Tanio, salah satu perempuan Suku Polahi yang ditemui di Hutan Humohulo, Pegunungan Boliyohuto, Kecamatan Paguyaman, Kabupaten Boalemo, minggu lalu.
Suku Polahi merupakan suku yang masih hidup di pedalaman hutan Gorontalo dengan beberapa kebiasaan yang primitif.
Mereka tidak mengenal agama dan pendidikan, serta cenderung tidak mau hidup bersosialisasi dengan warga lainnya.
Perkawinan Sedarah
Walau beberapa keluarga Polahi sudah mulai membangun tempat tinggal tetap, tetapi kebiasaan nomaden mereka masih ada.
Polahi akan berpindah tempat, jika salah satu dari keluarga mereka meninggal.
Nah, salah satu kebiasaan yang hingga sekarang masih terus dipertahankan oleh suku Polahi adalah kawin dengan keluarga sendiri yang masih satu darah.
Hal biasa bagi mereka ketika seorang ayah mengawini anak perempuannya sendiri, begitu juga seorang anak laki-laki kawin dengan ibunya.
Kondisi ini diakui oleh satu keluarga Polahi yang ditemui di hutan Humohulo.
Kepala sukunya, Baba Manio, meninggal dunia sebulan lalu.
Memperistri Adik Sendiri
Baba Manio beristri dua, Mama Tanio dan Hasimah. Dari perkawinan dengan Mama Tanio, lahir Babuta dan Laiya.
Babuta yang kini mewarisi kepemimpinan Baba Manio memperistri adiknya sendiri, hasil perkawinan Baba Manio dengan Hasimah.
Hasimah sendiri merupakan saudara dari Baba Manio.
Kelak anak-anak Babuta dan Laiya akan saling kawin juga.
"Kalau mau kawin, Baba Manio membawa mereka ke sungai. Disiram dengan air sungai lalu dibacakan mantra. Sudah, cuma itu syaratnya," ujar Mama Tanio dengan polosnya.
Keterisolasian mereka di hutan dan ketidaktahuan mereka terhadap etika sosial dan agama membuat suku Polahi tidak mengerti bahwa inses dilarang.
"Mengherankan Tak Ada Cacat"
Bagi mereka, kawin dengan sesama saudara kandung adalah salah satu cara untuk mempertahankan keturunan Polahi.
"Yang mengherankan, tidak ada dari turunan mereka yang cacat sebagaimana akibat dari perkawinan satu darah pada umumnya," ujar Ebbi Vebri Adrian, seorang juru foto travel yang ikut menyambangi suku Polahi.
Memang belum ada penelitian yang bisa mengungkapkan akibat dari perkawinan satu darah yang terjadi selama ini di Suku Polahi.
Namun, dibandingkan dengan suku-suku pedalaman lainnya di Indonesia, mungkin hanya Polahi yang mempunyai kebiasaan primitif tersebut.
Sebuah ironi yang masih saja terjadi di belahan bumi Indonesia ini.