BERITA FOTO: Berangkat ke Sekolah, Murid SD di China Harus Menuruni Tebing Setinggi 790 Meter
Bagi sebagian orang, pergi ke sekolah dengan naik dan turun gunung mungkin hanya dongeng dari kakek nenek.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, CHINA - Bagi sebagian orang, pergi ke sekolah dengan naik dan turun gunung mungkin hanya dongeng dari kakek nenek.
Tapi tidak dengan bocah-bocah di pedalaman China ini. Untuk pergi ke sekolah, murid-murid usia sekolah dasar (SD) di China haru menuruni tebing yang tingginya mencapai 790 meter.
Bagi yang tidak hati-hati, nyawa taruhannya!
Desa Atule’er terletak di sebelah barat daya China. Desa yang konon sudah berumur 200 tahun ini terkenal karena letaknya di atas tebing yang curam. Penduduk yang terdiri atas 70 keluarga ini sangat bergantung pada hasil bumi yang mereka tanam sendiri. Sementara untuk kebutuhan lainnya, mereka harus menuruni gunung itu, termasuk untuk bersekolah.
Pemerintah distik Zhaojue, Provinsi Sichuan, baru-baru ini mengeluarkan dana sebesar AS$155 ribu (sekitar Rp2,1 miliar), dalam bentuk kambing, untuk warga. Tapi jika ditelisik lebih dalam, hibah kambing itu sejatinya adalah apologi pemerintah karena tidak bisa memenuhi tuntutan warga sebesar AS$9 juta (sekitar Rp121,6 miliar) untuk pembangunan jalan.
Proposal yang tidak disetujuai itu secara tidak langsung ternyata berdampak pada kondisi pendidikan di desa itu; hanya anak-anak paling berani dan terkuatlah yang dapat mengenyam pendidikan formal.
Sekolah Dasar Le’er terletak di kaki gunung. Satu-satunya cara untuk naik dan turun gunung adalah melalui 17 tangga pokok, yang oleh orang-orang setempat disebut “heaven ladder”. Sekitar 15 anak desa yang bersekolah, membutuhkan waktu sekitar 2 jam untuk menempuh jalur yang menguji urat-saraf itu.
Begitu mereka tiba di sekolah, mereka akan tinggal di sana selama seminggu, dan baru pulang ketika hari libur datang.
Untuk meminimalkan risiko, setidaknya ada tiga orang dewasa yang menyertai anak-anak itu saat berangkat dan pulang dari sekolah—kita tahu, orang-orang tua tentu saja lebih gesit dibanding anak-anak mereka. Meskipun begitu, opsi keamanan tetap ada batasnya. Buktinya, sejauh ini telah ada delapan warga yang meregang nyawa ketika melewati rute tak manusiawi itu.
Dan kondisi itu semakin buruk ketika musim hujan atau salju. [Weirdasianews.com].