Kekerasan Terhadap Warga Muslim di Inggris Meningkat Pasca-Brexit
Masalah itu juga disebut dalam pertemuan para pemimpin UE di Brussels, Belgia.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, LONDON - Polisi Inggris, Kamis (30/6/2016), mengatakan, jumlah ujaran kebencian yang dilaporkan secara daring, termasuk penyerangan, meningkat lebih dari 500 persen.
Kasus itu terjadi seminggu setelah referendum Uni Eropa yang digelar di Inggris menunjukkan mayoritas atau 51,9 persen warga memilih “leave” atau keluar dari blok UE.
Ujaran kebencian yang yang dilaporkan melalui daring kepada polisi sebanyak 331 sejak pemilihan, dibandingkan rata-rata perminggu 63 kasus, kata Sara Thornton, Ketua Dewan Kepala Polisi Nasional, seperti dilaporkan Reuters, Jumat (1/7/2016) WIB,
Peningkatan kasus itu mendukung bukti kekerasan terhadap Muslim dan warga Eropa Timur selama referendum, yakni kekhawatiran atas imigrasi yang mendorong banyak orang memilih untuk meninggalkan UE.
“Saya terkejut dan merasa muak terhadap beberapa kasus rasis atau kekerasan antiimigran yang dilaporkan minggu ini,” kata Thornton.
“Para imigran melaporkan kekerasan verbal, komentar negatif dalam media sosial, termasuk penggunaan bahasa yang xenofobik, selebaran antipendatang, dan serangan fisik dalam jumlah kecil," katanya.
Kritik dalam kampanye “leave” yang menyulut xenofobia dan rasisme merupakan bagian dari pesan bahwa dengan keluar dari UE, Inggris akan menghentikan imigrasi yang tidak terkendali akibat tekanan pekerjaan dan layanan publik.
Menurut Thornton, polisi diminta menyediakan data tentang kejahatan tersebut setiap mingguan untuk membentuk gambaran yang jelas skala permasalahan itu.
Perdana Menteri David Cameron, Rabu (29/6/2016), berjanji mengawasi ujaran kebencian setelah sejumlah legislator menujukkan kehawatirannya atas kejadian yang dilaporkan di kawasannya.
Masalah itu juga disebut dalam pertemuan para pemimpin UE di Brussels, Belgia.
Pemerintah menjanjikan dana lebih untuk mengatasi ujaran kebencian, meningkatkan laporan serangan, dan menempatkan petugas keamanan di tempat-tempat rawan.
Seminggu sebelum referendum, anggota parlemen dari partai oposisi utama, Partai Buruh, yakni Jo Cox, yang merupakan pendukung Inggris tetap bergabung di UE ditembak dan ditusuk hingga tewas saat ia bertemu konstituennya di Inggris utara.