Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Membangun Jembatan Demokrasi dan Kesejahteraan: Pengalaman dari Tunisia

Indonesia dan Jasmine Revolution - Indonesia bisa mempelajari proses bagaimana kelompok-kelompok yang bertikai di Tunisia bisa duduk bersama

Editor: Yudie Thirzano
zoom-in Membangun Jembatan Demokrasi dan Kesejahteraan: Pengalaman dari Tunisia
KSP
Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki menerima rombongan pemenang Nobel Perdamaian tahun 2015 dari Tunisia, Ouided Bouchamaui di Kantor Staf Presiden (KSP) RI, Senin (5/12/2016) untuk berbagi pengalaman. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Untuk memperkuat kehidupan demokrasi dan pematangan sikap politik, Indonesia juga perlu belajar dari negara-negara lain dalam membangun dan menata kehidupan politik berdasarkan nilai-nilai universal yang diterima oleh masyarakat global.

Kehadiran pemenang Nobel Perdamaian tahun 2015 dari Tunisia, Ouided Bouchamaui di Kantor Staf Presiden (KSP) RI, Senin (5/12/2016) untuk berbagi pengalaman dan pengetahuan tentang perjuangannya membangun perdamaian di kawasan yang tengah bergolak secara politik, adalah bagian dari upaya Kantor Staf Presiden untuk mempelajari bagaimana demokrasi dan perdamaian mengalami jatuh bangun dan perlu diperjuangkan terus-menerus.

Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki mengatakan, “Kontribusi Bouchamaui dalam demokrasi pluralistik dalam Jasmine Revolution di tahun 2011 akan menjadi pengetahuan dan pengalaman berharga bagi Indonesia. Yakni bagaimana demokrasi bekerja untuk kepentingan rakyat, demokrasi dibangun untuk kesejahteraan publik, mengurangi kesenjangan ekonomi, dan mengurangi tingkat korupsi.”

Menurut Teten Masduki Indonesia bisa mempelajari proses bagaimana kelompok-kelompok yang bertikai di Tunisia bisa duduk bersama untuk membicarakan masa depan mereka.  Misalnya saat kelompok buruh bisa mencari titik temu bersama dengan kelompok bisnis. Hal itu bisa menjadi pelajaran menarik.

“Indonesia dan Tunisia memiliki banyak kesamaan. Sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar, Indonesia saat ini ditantang oleh dunia untuk lebih proaktif melakukan diseminasi Islam yang moderat dan toleran," ujar Teten Masduki dalam siaran pers kepada Tribunnews.com.

Untuk itu menurut Teten, Indonesia perlu terus membangun kerja sama, termasuk negara-negara di kawasan Maghribi seperti Tunisia. Potensi untuk menciptakan pasar bersama di kalangan negara-negara Muslim, sangat besar.

Ronny Yuliantoro, Duta Besar Indonesia di Tunisa juga menambahkan, sangat mengapresiasi kehadiran Ouded Bouchamaui dalam forum ini, di tengah-tengah jadwal dan kesibukannya sebagai businesswomen dan sekaligus penerima Nobel Perdamaian 2015.

Berita Rekomendasi

Tunisia memiliki program pembangunan 2020, yang bertujuan untuk mengubah pembangunan yang bernilai rendah menjadi ekonomi bernilai tinggi. Tunisia, menurut Duta Besar, dapat menjadi hub untuk produk-produk Indonesia ke kawasan Timur Tengah dan Afrika.

Demokrasi sangat penting sebagai bagian dari upaya setiap negara untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya.
Pengalaman Bouchamaoui, bersama dengan tiga tokoh lainnya yang dikenal sebagai Tunisian Quartet dalam membangun perdamaian di negaranya, akan menjadi pelajaran berharga dan penting bagi penguatan demokrasi di Indonesia di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo. 

Dalam siaran pers Kantor Staf Presiden (KSP) RI, disebutkan bahwa kehadiran Ouided Bouchamaui dalam forum diskusi Democracy and Welfare, Experience from Tunisia menjadi pelajaran bagi Indonesia secara umum bersamaan kondisi masyarakat dunia dalam transisi dan simpang jalan yang menentukan.

"Dinamika politik di berbagai belahan dunia, telah menimbulkan kegamangan dan sekaligus pertanyaan besar, akan ke manakah keseimbangan tata politik dan ekonomi global sedang menuju?" tulis KSP.

Keseimbangan ekonomi politik baru di kawasan Eropa, yang salah satunya ditandai keluarnya Inggris dari Uni Eropa, adalah contoh nyata yang berdampak pada kawasan lain. Ketidakstabilan politik di Timur Tengah, yang ditandai dengan perang berkepanjangan antara berbagai kekuatan politik dan bersenjata, telah menimbulkan penderitaan dan tragedi kemanusiaan yang paling memilukan dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir. 

Dampak dari pertikaian dan pergolakan itu adalah terjadinya gelombang imigrasi yang paling masif dalam sejarah di abad ke-21 dari kawasan perang menuju Eropa. Di Eropa, banjirnya imigran juga membawa persoalan tersendiri akibat respons yang berbeda-beda dari setiap negara dan kelompok masyarakat. Transisi dan simpang jalan juga ditandai dengan perubahan peta politik di AS pasca terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat.

Pandangan-pandangan politik dan kebijakan-kebijakan ekonominya yang sering kontroversial, menguatkan sinyalemen bahwa dunia memang sedang bertransisi, sedang mencari keseimbangan baru. Singkatnya, dinamika dan peristiwa politik di satu kawasan, bahkan di satu titik kecil di kolong langit ini, akan memberikan dampak bagi kawasan dan negara lain, tidak hanya di sekitarnya tetapi juga di kawasan lain yang memiliki sentimen-sentimen atau ikatan-ikatan tertentu. 

Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar di kawasan Asia Tenggara, nomor dua terbesar di Asia, juga tak luput dalam perubahan dan dinamika tersebut. Perubahan konstelasi politik, kebijakan ekonomi, dan tata sosial dalam kurun waktu dua tahun terakhir telah menunjukkan bahwa negeri ini memiliki fondasi yang cukup kuat untuk membangun demokrasi dengan nilai-nilai yang diserap dari prinsip-prinsip yang hidup di dalam masyarakat. 

Kegotongroyongan, keberagaman, persatuan dalam bingkai NKRI, dan kestabilan politik menjadi prasyarat bagi penguatan demokrasi di Indonesia. Dalam bingkai itu pulalah Indonesia tengah berjuang untuk mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat luas melalui pendekatan pembangunan yang bersifat Indonesia-Sentris.

Fondasi yang telah diletakkan Pemerintah Indonesia dalam dua tahun terakhir diharapkan akan menghadirkan kesejahteraan yang merata di setiap jengkal wilayah republik ini. Duta Besar Tunisia untuk Indonesia Mr. Mourad Belhassen mengatakan, Ouided Bouchamaoui berhasil membangun dialog politik dan bargaining-bargaining yang penting selama Jasmine Revolution, yang sangat berharga untuk untuk diketahui banyak pihak.

Lebih dari itu, Ouided adalah seorang pengusaha perempuan yang berhasil membangun bisnisnya baik di tingkat nasional maupun internasional. Melalui forum ini, Indonesia akan mendapatkan tambahan ilmu dan strategi, serta pengalaman yang relevan untuk membangun demokrasi di Indonesia.

Ouided Bouchamaoui dalam forum ini menceritakan keterlibatannya dalam Revolusi Melati atau Jasmine Revolution pada tahun 2011, dan bagaimana Tunisian National Quartet di mana ia menjadi salah satu bagian di antaranya, berjuang untuk memulihkan demokrasi sehingga memberikan harapan anak-anak muda di Tunisia tentang masa depan mereka yang lebih baik. 

Kuartet ini muncul di tengah-tengah revolusi dan kecamuk perang sipil yang melanda Tunisia. Mereka mewakili spektrum masyarakat yang luas dari masyarakat Tunisia, yang pada saat itu terkoyak oleh bermacam-macam bentuk kekerasan, termasuk kesalingtakpercayaan antara para pemimpin Islam dan pemimpin sekuler. 

Kuartet ini dipilih dari beberapa elemen antara lain General Labor Union, Tunisian Confederation of Industry, Trade and Handicrafts, Tunisian Human Right League, dan Tunisian Order of Lawyers, sebagai mediator dari para pihak yang bertikai. Mereka dipilih dari sekitar 273 kandidat, yang kemudian memunculkan empat nama, sebagai kelompok yang memiliki otoritas moral untuk menata dan mengelola perubahan ke arah demokrasi secara damai.

Ouided Bouchamaoui yang juga menjabat sebagai Presiden Tunisian Confederation of Industry, Trade and Handicraft menegaskan, demokrasi harus memberikan kesejahteraan bagi masyarakat, sehingga sangat penting untuk menciptakan lapangan pekerjaan, menumbuhkan ekonomi, dan sebagainya.

“Kami memiliki anggota dari perusahaan besar, menengah dan kecil yang bergerak dalam bidang industri kecil dan kerajinan, yang secara politik berkedudukan independen terhadap setiap kelompok politik, sehingga memiliki otoritas moral yang dibutuhkan untuk menata kembali Tunisia,” ujar Ouided Bouchamaui. Satu hal yang penting juga menurut Bouchamaui adalah, semua pihak yang berkepentingan dalam pertikaian harus memiliki kesadaran yang sama: semua untuk Tunisia. (KSP)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas