Badan Antikorupsi Dunia di Berlin Sebut Indeks Persepsi Korupsi Indonesia Turun ke Peringkat 90
Indonesia berada di peringkat ke 90 – atau turun dua tingkat dibanding tahun sebelumnya – dengan skor 37 – atau naik satu poin.
Editor: Hasanudin Aco
"Transparansi Internasional hari Rabu (25/1/2017) mengeluarkan laporan tahunan Indeks Persepsi Korupsi yang menunjukkan tingkat korupsi di 176 negara. Meski perolehan skor Indonesia naik, tetapi rankingnya turun ke peringkat 90."
TRIBUNNEWS.COM, WASHINGTON - Badan antikorupsi dunia yang berkantor di Berlin yakni Transparency Internasional, Rabu (25/1/2017) waktu setempat, mengeluarkan laporan tahunan atas hasil upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan 176 negara setahun terakhir ini.
Indeks Persepsi Korupsi ini menempatkan Indonesia di peringkat ke 90 dengan skor 37.
Dari sisi skor ada kenaikan satu poin, tetapi dari sisi rating terjadi penurunan dua tingkat.
Dihubungi VOA melalui telepon Rabu siang (25/1/2017) Koordinator Divisi Korupsi Politik badan pemerhati korupsi “Indonesian Corruption Watch” Donald Fariz mengatakan penurunan rating itu akibat belum maksimalnya reformasi hukum di bidang perijinan.
“Kita bisa melihat fenomena bahwa walaupun Presiden Joko Widodo melakukan berbagai akselerasi untuk mendorong perbaikan di sektor ijin usaha, menekan praktek pungli dll; tapi belum memberi dampak signifikan sehingga skor CPI Indonesia juga belum membaik. Ini tentu menjadi tantangan bagi presiden bahwa reformasi birokrasi khususnya di sektor perijinan harus diperbaiki lagi. (Mengapa di sektor perijinan?) Karena CPI menggunakan data atau instrumen “business doing activity” yang menyorot soal kemudahan perijinan, membuka usaha dan berinvestasi. Nah, ketika komponen ini dijadikan skor acuan utama untuk menilai berapa CPI sebuah negara, maka pada titik ini maka pembenahan birokrasi adalah yang paling utama harus dilakukan. Semakin mudah mendapatkan ijin berusaha tanpa perlu korupsi, maka skor CPI akan semakin tinggi,” ungkap Donald.
Hal senada disampaikan peneliti Transpansi Internasional, Finn Heinrich.
“Yang dibutuhkan adalah upaya serius pemerintah untuk menangani masalah korupsi di akarnya. Pemerintah perlu melakukan reformasi fundamental, dengan memaparkan secara terbuka hubungan sektor pemerintah dan bisnis, buka semua informasi kepada publik,” ujarnya.
Indeks Persepsi Korupsi yang dikeluarkan Transparansi Internasional didasarkan pada survei dan laporan tentang bagaimana pandangan pebisnis dan pakar pemerintah terhadap korupsi di sektor publik. Indeks itu menggunakan skala 0 – 100, dimana 0 adalah skor untuk negara dengan tingkat korupsi terburuk dan 100 untuk negara yang paling bersih dari korupsi.
Lima negara yang menduduki peringkat teratas adalah Denmark, Kanada, Finlandia, Swedia dan Swiss. Sementara di peringkat terbawah adalah Somalia, yang selama sepuluh tahun berturut-turut memiliki tingkat korupsi terburuk di dunia.
“Di ranking teratas ada Denmark, Kanada, Finlandia, Swedia dan Swiss yang memang ditandai dengan transparansi dalam proses birokrasi, mengajak keterlibatan warga, kebebasan media dan sistem peradilan yang independen. Negara-negara ini mengijinkan warga mengakses informasi tentang bagaimana anggaran masyarakat digunakan. Mereka senantiasa berada di peringkat teratas. Sebaliknya ada juga negara-negara seperti Somalia, Sudan Selatan, Korea Utara yang dikoyak perang, atau dikendalikan oleh pemerintahan diktator, pemerintahannya tidak berfungsi dan korupsi adalah satu-satunya cara bagi warga dalam kehidupan sehari-hari,” imbuh Finn.
Donald Fariz di ICW mengatakan upaya reformasi hukum memang harus dilakukan secara terus menerus sehingga tidak memberi ruang munculnya niat dan tindakan korupsi. Di Indonesia, peringkat pertama korupsi justru terjadi di kalangan birokrasi, DPRD dan kepala daerah.
Bentuk korupsi yang dilakukan bukan lagi sekedar manipulasi uang transportasi, hotel dan uang saku, tetapi tender proyek fiktif, pemerasan, mark-up pengadaan barang hingga pengelakan pajak.
“Jika kita bicara di rejim pemerintahan – khususnya di sektor birokrasi – banyak persoalan yang kompleks. Dalam hal pengadaan barang dan jasa misalnya terjadi mark-up, mark-down dan manipulasi pengadaan barang dan jasa. Tidak ada pengawasan efektif sehingga pelaksanaan di lapangan tidak sesuai rencana. Disisi lain ada sektor perijinan : ijin pertambangan, usaha perkebunan dll. Jika kita ambil conton ijin pertambangan, selama bertahun-tahun dibutuhkan upaya yang sangat luar biasa untuk bisa membuka usaha ini. Perlu ada studi lapangan yang dilakukan dll yang membuka akses antara swasta dan pemerintah, juga kepala daerah dan partai-partai, untuk mempengaruhi hasil studi yang menimbulkan dampak pada perijinan usaha tambang nanti. Kasus-kasus yang ditangani KPK menunjukkan perijinan tambang, alih fungsi hutan dan pengadaan barang dan jasa adalah kasus-kasus paling dominan yang ditangani penegak hukum karena celah terjadinya manipulasi sangat mudah,” tambah Donald.
Singapura yang berada pada peringkat ketujuh dengan skor CPI 87 adalah negara di Asia yang dinilai paling bebas korupsi. Disusul Brunei Darusalam di peringkat 41 dengan skor 58 dan Malaysia di peringkat 55 dengan skor 49.
Indonesia berada di peringkat ke 90 – atau turun dua tingkat dibanding tahun sebelumnya – dengan skor 37 – atau naik satu poin.
Indonesia berada di peringkat itu bersama-sama dengan Kolombia, Liberia, Moroko dan Macedonia. [em/ds]
Sumber: VOA Indonesia