Dikecam, Pembunuhan Aktivis HAM Sekaligus Tokoh Muslim Myanmar
Bagi APHR, U Ko Ni adalah seorang veteran perjuangan demokrasi Myanmar dan dikenal bersuara konsisten untuk toleransi dan hak asasi manusia.
Penulis: Ferdinand Waskita
Editor: Hasanudin Aco
![Dikecam, Pembunuhan Aktivis HAM Sekaligus Tokoh Muslim Myanmar](https://asset-2.tstatic.net/tribunnews/foto/bank/images/seorang-sedang-melihat_20170130_184242.jpg)
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - ASEAN Parliamentarians for Human Rights (APHR) menyesalkan pembunuhan U Ko Ni, aktivis HAM dan penasihat hukum dari Konselor Negara Aung San Suu Kyi dan Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD).
Ketua APHR Charles Santiago mengingatkan ekspresi kebencian kepada Rohingya sudah meningkat bentuknya menjadi pembunuhan langsung dan terbuka kepada tokoh-tokoh dari Rohingya.
"Kematian U Ko Ni bukan saja merupakan kehilangan besar bagi Myanmar tapi untuk semua ASEAN," ujar anggota Parlemen Malaysia sekaligus Ketua APHR Charles Santiago dalam keterangan pers, Selasa (31/1/2017) .
Baca: Foto Saat Tokoh Muslim Myanmar Tewas Ditembak Kepalanya Sepulang dari Indonesia
Bagi APHR, U Ko Ni adalah seorang veteran perjuangan demokrasi Myanmar dan dikenal bersuara konsisten untuk toleransi dan hak asasi manusia.
Perjuangan untuk perlindungan hak-hak minoritas adalah sebuah inspirasi bagi semua yang berjuang melawan kebencian, kefanatikan, dan penganiayaan.
"Belasungkawa terdalam kami sampaikan kepada keluarganya dan seluruh rakyat Myanmar," kata Charles.
Charles meminta pihak berwenang harus segera dan mengusut tuntas insiden ini dan memastikan bahwa keadilan ditegakkan.
Pihak berwenang juga harus mengambil langkah-langkah untuk menjamin keselamatan dan keamanan semua populasi minoritas di Myanmar, termasuk Muslim selain mengutuk semua ujar kebencian dan praktek kekerasan.
Pembunuhan U Ko Ni oleh disersi militer di airport, kata Charles , menunjukkan adanya paradok di Myanmar.
"Pidato kebencian dan nasionalisme ekstrim harus dilarang demi tercipta perdamaian sehingga pembangunan dan demokrasi bisa diwujudkan di Myanmar," ungkap Charles Santiago.
Sementara Anggota APHR Eva Kusuma Sundari menuturkan U Ko Ni dikenal sangat ahli soal Konstitusi 2008 Myanmar yang kontroversial.
"Beliau banyak bertanya bagaimana Indonesia mengatasi ujaran kebencian, saya menjawab kuncinya di penegakkan hukum yang tegas," kata Eva.
Eva Sundari berharap agar Pemerintah Indonesia dapat memberikan bantuan teknis soal pengembangan demokrasi dan toleransi kepada Myanmar selain bantuan kemanusiaan dan makanan untuk komunitas Rohingya.
"Walau masih ada kekurangan, faktanya Indonesia dianggap paling maju demokrasinya di Asean di tengah tekanan trend global terkait ancaman intoleransi," ujar Eva.