Mahkamah Agung AS Berlakukan Travel Ban Bagi Enam Negara Muslim
Travel ban AS, alias larangan perjalanan, bagi imigran enam negara berpenduduk mayoritas muslim kembali diberlakukan.
Penulis: Ruth Vania C
TRIBUNNEWS.COM, WASHINGTON - Travel ban AS, alias larangan perjalanan, bagi imigran enam negara berpenduduk mayoritas muslim kembali diberlakukan.
Mahkamah Agung AS akhirnya memutuskan untuk mencabut sebagian besar pembekuan yang diberlakukan atas larangan tersebut, Selasa (27/6/2017).
Menurut Mahkamah Agung, travel ban itu dapat diberlakukan untuk imigran yang memang tidak dapat memberikan bukti kredibel terkait kedatangannya ke AS.
Pembekuan yang diberlakukan oleh pengadilan di bawah Mahkamah Agung harus kalah oleh keputusan lembaga pengadilan tertinggi AS tersebut.
Kementerian Dalam Negeri AS menyatakan pencabutan itu akan berlaku dalam 72 jam ke depan.
"Kami akan terus memberikan informasi soal itu kepada para calon imigran yang akan melakukan perjalanan ke AS dan rekan mitra kami di industri pariwisata," jelas juru bicara Kementerian Dalam Negeri AS Heather Nauert.
Sedangkan, Presiden AS Donald Trump yang menjadi penggagas larangan itu menganggap keputusan Mahkamah Agung tersebut sebagai sebuah "kemenangan besar".
"Sebagai seorang presiden, saya tak bisa membiarkan orang-orang yang dapat membahayakan warga AS masuk ke negara ini," demikian pernyataan Trump.
Donald Trump juga kembali menegaskan bahwa larangan yang menjadi perintah eksekutifnya itu adalah alat penting untuk melindungi AS.
Tak lama setelah dilantik menjadi Presiden AS pada Januari lalu, Donald Trump menandatangani perintah eksekutif terkait pembatasan imigran ke AS.
Perintah eksekutif tersebut menangguhkan sementara visa imigran dari sejumlah negara di Timur Tengah dan Afrika.
Penangguhan visa berlaku bagi siapapun imigran dari tujuh negara yang dianggap "berbahaya", yang di antaranya termasuk Suriah, Iran, Libya, Somalia, Sudan, dan Yaman.
Perintah eksekutif tersebut sempat ditangguhkan sementara oleh sejumlah hakim pengadilan federal AS.
Menurut para hakim itu, Pemerintah AS tidak menjelaskan apa urgensi dari pemberlakuan kebijakan tersebut.
Pemerintah juga dikatakan belum bisa membuktikan bahwa imigran dari tujuh negara berpenduduk mayoritas muslim itu memang ada yang terlibat kegiatan terorisme di AS. (The Guardian/Reuters)