Kisah Sedih Seorang Perempuan yang Diperkosa di Hari Pernikahannya
Ini adalah yang peristiwa pertama dari dua tragedi untuk menimpa sang pendeta muda dari Nairobi itu.
Editor: Hasanudin Aco
Malam itu begitu dingin, sehingga kami tidak bisa tidur, jadi saya menyarankan untuk membawa selimut lagi. Tapi Harry mengatakan ia tidak bisa membawanya karena tidak kuat. Anehnya, saya juga tidak bisa beranjak. Kami menyadari ada yang tidak beres. Ia pingsan. Saya pingsan. Saya ingat saya memanggilnya. Saat itu ia merespons saya, namun kemudian ia tidak merespon lagi.
Saya memaksa diri saya untuk beranjak dari tempat tidur dan muntah, yang memberi saya kekuatan. Saya mulai merangkak ke arah telepon. Saya menelepon tetangga saya dan berkata: "Ada yang tidak beres, Harry tak sadarkan diri."
Tetangga saya langsung datang, tapi butuh waktu lama untuk saya merangkak ke pintu depan agar ia bisa masuk saat aku pingsan. Saya melihat sekelompok orang datang, menjerit. Dan saya ambruk tak sadarkan diri lagi.
Saya terbangun di rumah sakit dan bertanya dimana suami saya berada. Mereka bilang mereka sedang merawatnya di kamar sebelah. Saya berkata: "Saya adalah seorang pendeta, saya telah melihat cukup banyak dalam hidup saya, saya ingin Anda terus terang kepada saya." Dokter menatap saya dan berkata, "Maaf, suamimu tidak tertolong."
Saya tidak bisa mempercayainya.
Kembali ke gereja untuk pemakaman adalah hal yang sangat mengerikan. Baru sebulan yang lalu saya ke sana dengan gaun putih, bersama Harry berdiri di depan dan terlihat tampan dengan jasnya. Kini, saya mengenakan pakaian serba hitam dan melihat suami saya dimasukkan ke dalam peti mati.
Orang-orang mengira saya telah dikutuk dan mereka menjauhkan anak-anaknya dari saya. "Ada pengaruh buruk yang dalam dirinya," kata mereka. Pada satu titik, saya benar-benar mempercayainya.
Sedangkan yang lainnya menuduh saya telah membunuh suami saya. Itu membuat saya sangat sedih karena saya sedang berduka.
Hasil autopsi menunjukkan apa yang sebenarnya terjadi. Suami saya meninggal akibat keracunan karena karbonmonoksida yang memenuhi paru-parunya, ia tercekik dan tersedak.
Saya hancur berkeping-keping. Saya merasa dikecewakan oleh Tuhan, saya merasa dikecewakan semua orang. Saya tidak percaya bahwa orang bisa tertawa, pergi keluar dan hanya menjalani hidup. Saya terpuruk.
Suatu hari saya sedang duduk di balkon melihat burung-burung berkicau dan saya berkata: "Tuhan, bagaimana kau bisa merawat burung-burung ini tapi saya tidak?"
Pada saat itu saya ingat ada 24 jam dalam sehari - duduk dalam keadaan depresi dengan gorden tertutup. Tanpa terasa sudah seminggu, sebulan, setahun terbuang sia-sia. Itu adalah kenyataan yang sulit.
Saya mengatakan kepada semua orang bahwa saya tidak akan pernah menikah lagi. Tuhan mengambil suami saya, dan rasa kehilangan itu terlalu banyak. Itu adalah sesuatu yang tidak saya inginkan pada siapa pun. Rasa sakitnya luar biasa.