Anak Ajaib Asal Afghanistan Yang Sudah Menjadi Dosen Sejak Kecil
Di Peshawar, ada seorang anak ajaib berasal dari keluarga pengungsi sangat cerdas dan menjadi guru termuda se-Pakistan.
TRIBUNNEWS.COM - Di Pakistan, hampir 60 ribu anak lahir dari keluarga pengungsi Afghanistan setiap tahunnya. Anak-anak itu tidak bisa bersekolah dan harus bekerja membantu keluarga. Akibatnya anak-anak itu tidak mendapat pendidikan yang layak.
Tapi di Peshawar, ada seorang anak ajaib berasal dari keluarga pengungsi sangat cerdas dan menjadi guru termuda se-Pakistan.
Lalu, siapa anak tersebut? Berikut kisah lengkapnya seperti yang dilansir dari Program Asia Calling produksi Kantor Berita Indonesia (KBR).
Sabawoon Nangarahi baru berusia 11 tahun. Dia memakai pakaian yang tidak biasa bagi anak seusianya, jas dan dasi.
Meski masih sangat muda, cara bicara Sabawoon jauh melampaui usianya. Komentar cerdas dan kutipan dari beberapa bahasa terlontar dari mulutnya. Anak laki-laki ini bicara seperti seorang profesor senior.
Rupanya Sabawoon merupakan dosen kampus University of Spoken English di Peshawar. Kampus ini terletak 80 kilometer dari Perbatasan Afghanistan. Rata-rata usia mahasiswa dua atau tiga kali lebih tua dari Sabawoon, namun mereka menyebutnya adalah guru termuda di dunia.
“Dia jauh lebih muda dari kami tapi pengetahuannya luas dan bijaksana. Saya juga puas dengan gaya mengajarnya,” kata Zakir Khan, pria berusia 28 tahun yang mengikuti kelas IT Sabawoon.
“Dia bisa menjelaskan pelajaran dengan baik. Dan dia membagikan informasi dari Google dan YouTube, yang jarang dilakukan guru lain. Kualitas ini membuatnya jadi guru terbaik,” tutur Zakir.
Dinding sekolah ditutupi dengan ungkapan dalam bahasa Inggris dan kutipan dari ilmuwan terkemuka dan pemimpin dunia. Salah satunya berbunyi ‘Tuntutlah ilmu mulai dari buaian sampai liang lahat’. Dan ini sepertinya cocok dengan Sabawoon.
Sabawoon mengaku sudah mengajar sejak usia sembilan tahun.
“Saya adalah murid termuda di kelas dan selalu berada di posisi pertama. Guru sangat senang dengan prestasi saya. Suatu hari kepala sekolah meminta saya mengajar kelas bahasa Inggris dan para siswa menyukai cara saya mengajar. Begitulah awalnya,” kisah Sabawoon.
Sabawoon menghabiskan pagi harinya untuk belajar. Dan di malam hari, dia menjadi guru dan mengajar bahasa Inggris, kewirausahaan dan IT.
Sabawoon adalah anak pengungsi Afghanistan. Seperti banyak anak pengungsi lain, dia harus mencari uang untuk membantu keluarga. Saat tidak bersekolah, Sabawoon bekerja jadi tenaga lepas sebagai spesialis IT. Sabawoon sadar dia sangat beruntung. Kebanyakan anak pengungsi tidak punya akses ke sekolah atau pekerjaan seperti dirinya.
“Saya bisa saja jadi tukang sepatu, bekerja di restoran atau pemulung, seperti ribuan anak pengungsi Afghanistan lainnya. Itu terjadi karena mereka tidak mendapat pendidikan yang cukup. Tapi saya mendapat dukungan dan bimbingan dari para guru,” jelas Sabawoon.
Saat ini ada 1,6 juta pengungsi Afghanistan yang terdaftar di Pakistan.
Anak-anak pengungsi ini tidak diizinkan belajar di sekolah-sekolah Pakistan. Dan bila pun mereka bersekolah di sekolah indepen Afghanistan, kebanyakan harus meninggalkan sekolah lebih awal untuk bekerja. Sementara anak perempuan nyaris tidak bersekolah.
Tapi Sabawoon yang ambisius bertekad memanfaatkan semaksimal mungkin bakat dan kesempatan yang dimilikinya.
“Saya yakin bisa menyelesaikan gelar PhD di usia 16 tahun dan jadi pemegang gelar PhD termuda di dunia. Saya akan mendedikasikan seluruh hidup saya untuk Pakistan dan Afghanistan. Pakistan seperti guru tempat saya belajar sementara Afghanistan seperti orangtua saya. Karena itu saya ingin fokus ke bidang pendidikan di kedua negara.”