Temuan PBB: Perempuan Rohingya Ditelanjangi dan Diperkosa Beramai-ramai oleh Tentara Myanmar
Menurut Patten, pemerkosaan terhadap para perempuan Rohingya ini antara lain memicu eksodus ke negara tetangga Bangladesh.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, BANGLADESH - Tentara Myanmar diduga 'secara sistematis melakukan pemerkosaan' terhadap warga minoritas Muslim Rohingya.
Demikian kata pejabat senior PBB, Pramila Patten, kepada para wartawan di Dhaka, ibu kota Bangladesh dikutip dari BBC.
Menurut Patten, pemerkosaan terhadap para perempuan Rohingya ini antara lain memicu eksodus ke negara tetangga Bangladesh.
"Saya mendapatkan penuturan tentang serangan seksual dan pemerkosaan beramai-ramai, banyak gadis dan perempuan yang meninggal akibat tindakan ini," kata Patten.
Ia mengatakan hal tersebut setelah bertemu dengan para pengungsi Rohingya di sejumlah kamp di Bangladesh.
"Observasi yang saya lakukan mengarah pada pola tindakan kekejaman yang meluas, termasuk kekerasan seksual terhadap kaum perempuan Rohingya yang secara khusus dijadikan target karena agama dan etnisitas mereka," kata Patten.
Baca: 40 Ribu Pengungsi Anak Rohingya tanpa Ditemani Keluarga
Patten menuduh tentara Myanmar 'segaja menggunakan kekerasan seksual sebagai alat teror, yang ditujukan untuk menumpas orang-orang Rohingya'.
Utusan PBB untuk masalah kekerasan seksual di daerah konflik ini mengatakan kekerasan seksual di Rakhine -negara bagian yang banyak dihuni oleh warga Rohingya- 'diperintahkan, diatur, dan dilakukan oleh personel angkatan bersenjata Myanmar'.
"Bentuk-bentuk kekerasan seksual konsisten ... korban mengatakan mereka diperkosa oleh tentara beramai-ramai, dipaksa telanjang di depan umum, dan dijadikan budak seks di tahanan militer," kata Patten.
"Seorang korban menuturkan ditahan oleh tentara militer selama 45 hari dan selama ditahan ia diperkosa berkali-kali," katanya.
Militer Myanmar membantah
Ia menegaskan kekejaman-kekejaman ini 'bisa digolongkan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan'.
"Ketika saya kembali ke New York saya akan mengangkat masalah ini dengan jaksa dan presiden Mahkamah Kejahatan Internasional untuk membuka kemungkinan apakah (militer Myanmar) bisa diproses secara hukum karena melakukan kejahatan tersebut," kata Patten.