AS Minta Warganya di Zimbabwe Berlindung di Tempat Aman
Kedutaan besar Amerika Serikat (AS) di Zimbabwe mengimbau warganya untuk berlindung ke tempat aman.
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Ferdinand Waskita
TRIBUNNEWS.COM, HARARE-- Kedutaan besar Amerika Serikat (AS) di Zimbabwe mengimbau warganya untuk berlindung ke tempat aman.
Imbauan itu dilakukan di tengah meningkatnya kekacauan politik dan munculnya pasukan di ibukota Harare.
Kedutaan Besar AS juga mengumumkan akan ditutup untuk umum pada hari Rabu (15/11/2017).
Namun tetap akan ada staff Kedutaan yang siap 24 jam untuk warga negara yang membutuhkan bantuan.
Pernyataan Kedutaan AS ini juga mengutip "alasan masih berlanjutnya ketidakpastian politik yang terjadi di Zimbabwe".
Baca: Presiden Iran Desak Peningkatan Pertolongan Bagi Korban Gempa Bumi
Setidaknya tiga ledakan telah terdengar Rabu (15/11/2017) pagi di Harare dan oknum militer bersenjata dan kendaraan militer telihat di jalanan ibukota.
Untuk pertama kali terjadi sepanjang sejarah Zimbabwe, terjadi keretakan terbuka antara militer dan Presiden Robert Mugabe (93) yang telah memerintah sejak tahun 1980.
Ketegangan tinggi terjadi setelah Panglima miiter Zimbabwe mengancam akan memilih langkah militer dan menenangkan kekacauan politik dan konflik dalam partai yang berkuasa, Zanu-PF.
Associated Press melihat tentara bersenjata menyerang orang yang lewat di pagi hari di Harare, serta tentara memasukan amunisi ke dekat empat kendaraan militer.
Ledakan pun terdengar dekat kampus Universitas Zimbabwe.
Baca: Begini Kronologi Kelompok Bersenjata Tembak 2 Anggota Brimob di Papua
Perkembangan tersebut datang beberapa jam setelah The Associated Press pada hari Selasa (14/11/2017) melihat tiga kendaraan lapis baja pengangkut personel dengan beberapa prajurit dalam konvoi menuju barak militer di luar ibukota.
Untuk pertama kalinya, ini terjadi keretakan terbuka antara militer dan Mugabe, kepala negara tertua di dunia yang telah memerintah sejak kemerdekaan dari minoritas putih pada tahun 1980.
Sejak itu militer telah menjadi pilar utama kekuasaannya.
Mugabe minggu lalu memecat Wakil Presiden Emmerson Mnangagwa dan menuduhnya merencanakan kudeta mengambil alih kekuasaan, termasuk melalui sihir.
Mnangagwa, yang menikmati dukungan militer dan dilihat sebagai calon Presiden, melarikan diri dari negara dan mengatakan ia telah diancam.
Mnangagwa, yang merupakan mantan Kepala Intelijen Zimbabwe, menjadi sosok yang populer di kalangan rakyat.
Pria 75 tahun itu digadang-gadang menjadi suksesor Mugabe yang kini telah berusia 93 tahun dan berkuasa selama 40 tahun sejak 22 Desember 1977.
BBCmenulis, pemecatan itu diduga merupakan cara Mugabe memuluskan jalan istrinya, Grace Marufu, maju menjadi presiden.
Lebih dari 100 pejabat senior yang diduga mendukungnya telah terdaftar dalam tindakan disipliner oleh sebuah faksi yang terkait dengan istri Mugabe, Grace.
Ibu Negara sekarang muncul diposisikan untuk menggantikan Mnangagwa sebagai wakil presiden pada konferensi khusus partai yang berkuasa di bulan Desember.
Pada hari Senin lalu, panglima Constantino Chiwenga mengeluarkan pernyataan yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Ia mendesak segera dihentikan pembersihan terhadap pejabat senior partai berkuasa ZANU-PF, di antaranya seperti Mnangagwa yang telah berjuang untuk pembebasan negeri ini.
"Kita harus mengingatkan orang-orang di belakang tindakan pembersihan ini, karena ini berbahaya saat ini. Militer tidak akan ragu mengambil sikap," kata komandan angkatan darat itu.
Situasi di ibu kota Zimbabwe, Harare, semakin memanas, Rabu (15/11/2017), setelah sehari sebelumnya sejumlah kendaraan berat militer terlihat bergerak menuju ibu kota.
Media lokal Zimbabwe melaporkan bahwa kudeta militer disinyalir sedang berlangsung.
Indikasinya, televisi pemerintah, ZBC, telah dikuasai oleh pasukan dari angkatan bersenjata Zimbabwe.
Sementara akun Twitter Zanu-PF membantah bahwa sedang terjadi krisis politik di negeri mereka.
"Terima kasih atas perhatian Anda. Tidak ada kudeta di Zimbabwe. Silakan lanjutkan hidup Anda dan hadapi masalah Anda sendiri."(AP/Aljazeera/BBC)