Persiapan Menghadapi Gempa Bumi di Jepang Dengan 6 Hal Penting
Kondisi geologis yang tidak stabil di Jepang menimbulkan sekitar 1.000 guncang setiap tahun.
Editor: Johnson Simanjuntak
Laporan Koresponden Tribunnews.com, Richard Susilo dari Jepang
TRIBUNNEWS Tokyo - Gempa besar di Osaka 18 Juni 2018 dengan kekuatan 6SR membuat umumnya penduduk di Jepang semakin berjaga-jaga bersiap diri menghadapi kemungkinan gempa besar yang menurut pimpinan badan meteorologi dan geofisika Jepang bisa mencapai 7,5SR di masa depan.
"Putaran gempa 300 tahun dan banyaknya gempa besar belakangan ini memang memprihatinkan dan bukan tidak mungkin dalam masa dekat ini ada gempa yang besar sekali," ungkap sumber Tribunnews.com Rabu ini (20/6/2018).
Kondisi geologis yang tidak stabil di Jepang menimbulkan sekitar 1.000 guncang setiap tahun.
Banyak guncangan-guncangan kecil berlangsung tanpa disadari orang awam, dan warga sudah terbiasa dengan gempa berskala sedang ketika berjalan.
Meski demikian, beberapa gempa menyisakan kenangan dalam kesadaran nasional dalam diri bangsa Jepang.
Pada tahun 1923, gempa bumi dahsyat mengguncang Tokyo dinamakan Gempa Bumi Kanto Besar, guncangan berkekuatan 7,9 pada skala Richter (SR) menghantam Tokyo dan kebakaran yang berkobar sesudahnya melalap banyak rumah kayu.
Sekitar 100.000 warga meninggal dalam bencana alam tersebut.
Sekitar 72 tahun kemudian, gempa bumi dahsyat meluluhlantakkan kota Kobe (1995) di belahan barat Jepang dengan kekuatan 6,8 SR.
Tribunnews.com yang mengunjungi Kobe pakai helikopter beberapa hari setelah gempa melihat dari atas banyak jalan bebas hambatan ambruk, sedangkan ribuan bangunan rusak. Kebakaran juga merebak di seluruh kota.
Sebanyak 6.400 orang tewas dan lebih dari 400.000 warga terluka. Tampak memang berantakan sekali kota Kobe saat itu dan asap kepulan bekas tempat yang kebakaran (dampak gempa bumi) masih ada saat Tribunnews.com berkunjung ke sana.
Pemerintah Jepang juga melakukan investasi besar-besaran untuk mengembangkan sistem pemantau baik gempa maupun tsunami.
Didirikan tahun 1952, Layanan Peringatan Tsunami dioperasikan oleh Badan Meterorologi Jepang (JMA).
Lembaga itu memantau kegiatan kegempaan dari enam kantor regional dengan memperhitungkan informasi yang dikirim oleh stasiun seismik di daratan dan lepas pantai. Jaringan kantor seismik itu membentuk Sistem Observasi Gempa Bumi dan Tsunami.
Kesiapan gempa menjadi bahan latihan bagi anak-anak usia sekolah