Mendikbud Jepang Minta Usut Tuntas Kasus Tokyo Ikka, Termasuk Soal Diskriminasi Wanita
Menteri Pendidikan Kebudayaan Olahraga Sains dan Teknologi, Yoshimasa Hayashi (57) meminta agar kasus Tokyo Ikka Daigaku diusut tuntas.
Editor: Dewi Agustina
"Jika universitas tidak mengungkapkan proses transparan dan telah melakukan diskriminasi terhadap pelamar berdasarkan jenis kelamin, itu akan menjadi masalah," ungkap sumber Tribunnews.com, Jumat (3/8/2018).
Proses masuk Tokyo Ikka terdiri dari dua tahap.
Baca: Baihaqi Meregang Nyawa di Tangan Sang Adik Gara-gara Pukul Ayahnya
Pertama melihat pelamar mengambil ujian pilihan ganda dan mereka yang maju menjalani penilaian lebih lanjut dengan menulis esai dan menghadiri wawancara.
Universitas memotong poin pelamar perempuan setelah tahap pertama untuk mengurangi jumlah yang akan maju ke fase berikutnya.
Hal itu tidak dijelaskan kepada para pelamar calon mahasiswa baru.
Dari 1.596 pria dan 1.018 wanita yang mendaftar ke universitas pada tahun akademik 2018 mulai bulan April 2018, sebanyak 19 persen dari pelamar laki-laki, atau 303, lulus tahap pertama, dibandingkan dengan 14,5 persen pelamar perempuan.
Sebanyak 141 pria dan 30 wanita melewati tahap kedua, membawa keseluruhan angka kelulusan menurut gender menjadi 8,8 persen (pria) dan 2,9 persen (wanita).
Sekelompok dokter wanita yang sebelumnya mengemukakan kekhawatiran mereka tentang kemungkinan adanya praktik diskriminatif, mengatakan mereka senang masalah ini akhirnya terungkap.
Kyoko Tanebe, seorang anggota dewan eksekutif di Asosiasi Profesional medis Wanita Jepang mengatakan universitas kedokteran lainnya diyakini telah terlibat dalam praktik serupa.
"Ini adalah masalah serius," kata Tanebe, seorang dokter kandungan di Perfektur Toyama.
Tanebe berbicara tentang praktik yang dicurigai beberapa kali di pertemuan komite pemerintah dan pertemuan para praktisi medis, tetapi banyak yang tidak menunjukkan minat yang besar mengenai hal itu.
"Baru kali ini akhirnya mengemuka jadi kasus besar di masyarakat," kata dia.
Ruriko Tsushima, anggota dewan eksekutif lain pada asosiasi itu, mengecam hal itu sebagai tindakan diskriminasi tak termaafkan terhadap wanita.
"Saya tidak dapat memaafkan (apa yang dikatakan oleh universitas itu) kepada berbagai orang yang belajar keras untuk masuk ke universitas, berharap menjadi dokter," kata kepala klinik wanita di Tokyo.