Ternyata Inilah Karakter Pemilik Uniqlo Jepang Tadashi Yanai
Menurutnya, tidak ada orang lain yang berani mengambil keputusan kalau bos tersebut belum OK.
Editor: Johnson Simanjuntak
Laporan Koresponden Tribunnews.com, Richard Susilo di Jepang
TRIBUNNEWS Tokyo - Perusahaan Jepang yang satu ini memang memiliki karakter di luar kebiasaan yang dilakukan perusahaan Jepang umumnya. Itulah yang dilakukan Uniqlo terutama yang dilakukan orang nomor satunya, CEO Tadashi Yanai (69).
"Semua hal sampai sekecil apa pun harus dapat OK dari Yanai. Kalau tidak pasti semua orang tak ada yang berani melakukannya," ungkap Masuo Yokota (53), wartawan Jepang spesialis Uniqlo, khusus kepada Tribunnews.com sore ini (17/10/2018).
Menurutnya, tidak ada orang lain yang berani mengambil keputusan kalau bos tersebut belum OK.
Lain dengan pengalaman Tribunnews.com selama 30 tahun mewawancarai banyak pimpinan perusahaan Jepang di Jepang.
Biasanya keputusan dari bawah dan CEO hanya mengetahui saja. Tetapi pihak Direktur pada perusahaan besar sekalipun yang telah mendunia, bahkan tingkat General Manager saja sudah berani dan bisa mengambil serta melakukan keputusan besar bagi perusahaan tersebut.
CEO perusahaan besar Jepang biasanya mempercayakan segalanya kepada bawahannya untuk memutuskan berbagai hal.
"Itulah sebabnya saat dua warga Indonesia menuntut Uniqlo sampai ke Tokyo sini selama seminggu minggu lalu dan pulang kemarin (16/10/2018), kalau tak dapat OK dari Yanai pasti uang tak akan ke luar satu yen pun," tekannya.
Yokota sendiri mengaku sebagai pemegang saham Uniqlo.
"Saat rapat umum pemegang saham tidak pernah si bos Yanai menjawab pertanyaan saya. Dia selalu mengalihkan ke stafnya. Padahal saya minta dia yang menjawab nya. Dan kalau orang lain kalau bertanya selalu dia yang menjawab. Aneh bukan?," tekannya lagi.
Tribunnews.com bertanya apakah seperti diktator begitu karakternya?
"Ya seperti itulah. Pokoknya semua harus dia yang OK kan, kalau tidak pasti tak akan ada yang berani yang lain," tambahnya.
Yokota sangat menyayangkan karakter sang bos Uniqlo tersebut yang berbeda dengan karakter orang Jepang umumnya.
"Di Kamboja saja ada tuntutan tenaga kerjanya kepada Uniqlo dan kalah. Tapi dia sama sekali tak mau ke luar apa pun. Lalu di China tenaga kerjanya mencoba menuntut Uniqlo ke pengadilan, aneh pengadilan tak mau menerima tuntutan para pekerja tersebut. Banyak keanehan terjadi pada perusahaan tersebut," ungkapnya lagi lebih lanjut.
Itulah sebabnya Yokota berusah amenyamar menjadi pegawai Uniqlo selama satu tahun 2016-2017 untuk menghetahui langsung apa yang terjadi di dalam perusahaan tersebut dan akhirnya membuat bukunya yang terbit tahun lalu "Penyamaran Kerja Satu Tahun di Uniqlo" tentu dalam bahasa Jepang yang laris terjual di Jepang saat ini.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.