Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Badan Pangan Dunia Bahas Wabah ASF yang Menyerang Babi di China

Serangan ASF dapat merusak perdagangan menyebabkan kerugian ekonomi yang besar dan mengancam keamanan pangan.

Penulis: Ria anatasia
Editor: Hasanudin Aco
zoom-in Badan Pangan Dunia Bahas Wabah ASF yang Menyerang Babi di China
Humas Badan Pangan Dunia
Petugas melakukan pengambilan sampling pada ternak babi di Sulawesi Barat. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Badan Pangan Dunia (FAO) mengangkat permasalahan wabah yang saat ini sedang merebak di China, African Swaine Flu (ASF) dalam sidang pleno di pertemuan Federasi Veteriner se-Asia (FAVA) di Nusa Dua Bali, Jumat (2/11/2018).

Ian Dacre, Deputi Regional Manager FAO dalam presentasinya yang berjudul 'Risk of Transboundary Animal Disease in Asia' menyebutkan, ASF memang tidak secara langsung membahayakan manusia.

Namun, serangan ASF dapat merusak perdagangan menyebabkan kerugian ekonomi yang besar dan mengancam keamanan pangan.

“Kita tahu Indonesia tidak mengimpor babi maupun produk-produknya. Tapi ASF ini termasuk virus yang kuat, bisa bertahan pada cuaca yang sangat panas maupun sangat dingin. Jadi virus bisa saja masuk ke Indonesia dari produk-produk daging babi yang dibawa para wisatawan asing,” jelas Ian dalam siaran pers yang diterima Tribunnews.com, Jumat (2/11/2018).

FAO melalui Pusat Darurat untuk Penyakit Hewan Lintas Batas (ECTAD), bekerja sama dengan Kementerian Pertanian dan Urusan Pedesaan China untuk menyelidiki, melacak situasi penyakit, penilaian risiko dan kesiapsiagaan darurat.

“Biosekuriti sangat krusial untuk mencegah ASF. Karena sampai saat ini belum ditemukan vaksin untuk menangkalnya,”jelasnya.

Baca: Keluarga Korban Lion Air Menangis Saat Bertemu Jokowi

Ian berharap, Indonesia bisa memiliki rencana kontingensi dalam mencegah ASF masuk ke tanah air, mengingat Indonesia dikenal sebagai hotspot munculnya penyakit infeksi baru dan berulang (PIB) serta zoonosis.

BERITA REKOMENDASI

Pencegahan ASF Melalui Pelatihan Investigasi Wabah

Sejak 2013, FAO ECTAD Indonesia bersama dengan Direktorat Kesehatan Hewan dan Peternakan (Ditjen PKH) Kementerian Pertanian telah melakukan pelatihan investigasi wabah (Outbreak Investigation) bagi petugas kesehatan hewan. Tidak hanya petugas di tingkat pusat, tapi juga di tingkat daerah.

Kegiatan ini ditujukan untuk mencegah maupun mengendalikan ancaman wabah yang bisa terjadi kapan saja. Pelatihan difokuskan pada pendekatan simulasi dengan mengadopasi kejadian nyata di masa lalu dari berbagai negara dalam menghadapi wabah penyakit.

Hingga tahun 2018, sebanyak 298 petugas kesehatan hewan yang sudah dilatih di 8 wilayah pusat investigasi penyakit, Kementan di Subang, Yogyakarta, Maros, Lampung, Bukittinggi, Banjarbaru, Denpasar dan Medan. Salah satu kegiatan utama pelatihan investigasi wabah adalah meningkatkan kapasitas dokter hewan pusat dan daerah agar dapat secara efektif mendeteksi dan melaporkan wabah

“Pelatihan investigasi wabah ini sangat penting. Karena saya perhatikan dalam beberapa tahun ini ketika menghadapi outbreak, laporan yang diberikan petugas selalu berbeda. Tidak ada standar," ujar Direktur Kesehatan Hewan Kementerian Pertaian, Fadjar Sumping Tjatur Rasa.

"Memang laporan bisa bervariasi bergantung karakteristik kasus, lokasi dan sebagainya. Akan tetapi ada substansi-substansi yang harus tetap ada disitu. Pendataan hewan, kemudian keadaan lingkungan, asal hewan dan sebagainya. Ini penting diterapkan,” sambungnya.

Selain untuk mengendalikan penyakit, lanjutnya, investigasi wabah juga penting bagi para pengambil kebijakan dalam menentukan langkah selanjutnya.

"Karena itu kita sebagai petugas harus bisa menyajikan data-data dan informasi, serta bukti-bukti lapangan yang bisa diformulasikan untuk membuat kebijakan,” pungkasnya.

Sekadar informasi, wabah ASF pertama kali terjadi di Eropa dan Amerika pada awal tahun 1950-an dan berlangsung hingga tahun 1980-an. Namun pada tahun 2007, jenis virus ASF baru terjadi di Georgia, yang kemudian menyebar dan sangat memukul negara-negara tetangga di Eropa Timur.

Di Asia, ASF pertama kali terdeteksi di peternakan babi di wilayah Siberia Federasi Rusia pada Maret 2017. Di China, virus itu ditemukan di timur laut negara itu pada awal Agustus tahun ini. Sejak itu, lima kasus tambahan telah dilaporkan di daerah sejauh seribu kilometer.

Cina menghasilkan lebih dari setengah populasi babi di dunia, yaitu sekitar 400 juta ekor. Untuk menahan penyebarannya, pihak berwenang hingga saat ini telah memusnahkan sebanyak 40.000 babi.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas