Diskusi Resilience di Jepang, Melihat Pentingnya Agama untuk Kehidupan Manusia
Agama sangat penting dalam kehidupan manusia, supaya bisa ulet dan bangkit kembali untuk menjadi normal setelah kaget menghadapi bencana alam.
Editor: Dewi Agustina
![Diskusi Resilience di Jepang, Melihat Pentingnya Agama untuk Kehidupan Manusia](https://asset-2.tstatic.net/tribunnews/foto/bank/images/dr-monty-p-satiadarma-mantan-rektor-universitas-tarumanagara.jpg)
Laporan Koresponden Tribunnews.com, Richard Susilo dari Jepang
TRIBUNNEWS.COM, TOKYO - Diskusi Kansai Resilience Forum yang diselenggarakan pemerintah Jepang dan The International Academic Forum (IAFOR) terungkap bahwa agama sangat penting dalam kehidupan manusia, supaya bisa ulet dan bangkit kembali untuk menjadi normal setelah kaget (shock) menghadapi bencana alam.
"Resilience bukan sekadar tangguh tapi ulet karena sudah jatuh bangun, lalu jatuh bangun lagi dan seterusnya," kata Dr Monty P Satiadarma (60), mantan Rektor Universitas Tarumanagara kepada Tribunnews.com, Jumat (22/2/2019).
Menurut Monty, kita perlu mempelajari Resilience tersebut untuk membantu para korban bencana alam yang pasti shock setelah kejadian tersebut.
"Ada tujuh tahapan yang terjadi yaitu Shock, Anger, Denial, Bargain, Depression, Casting to reality dan Acceptance kepada diri sendiri pada akhirnya, sehingga dia menjadi normal kembali. Makan waktu lama dan kalau sampai 6 bulan tidak berubah dan tidak pulih itu akan berbahaya, akan terkena depresi berat," tambahnya.
"Korban yang mengalami bencana kan tidak senang, dan pasti mengalami guncangan stress," ungkap ahli klinikal psikologis tersebut.
"Guncangan penting untuk diungkapkan. Dalam pendampingan perlu adanya sistem support dan kita harus bisa masuk sebagai bagian dari korban, share it, harus bisa mendengarkannya untuk membantu melepaskan stresnya. Saya melakukan lebih produktif lewat gambar. Ada pula ahli lain lewat musik, puisi dan sebagainya seperti yang pernah saya lakukan saat membantu PBB mengantisipasi para korban tsunami Aceh di masa lalu," kata dia.
Setelah masa sekian bulan ternyata terlihat beda dari penerapan psikologis lewat gambar musik dan puisi tersebut (saat itu dibantu almarhum WS Rendra).
Baca: Isak Tangis Keluarga saat Jenazah Tyas Korban Bunuh Diri di Transmart Lampung Tiba di Rumah Duka
Banyak anak di daerah seperti Aceh dan Lombok yang stres tetapi sebagian punya kekuatan lain yaitu dari agama yang mereka tekuni dengan baik.
"Di dalam resilience, harus punya Resilience body, psikologikal Resilience, environmental Resilience dan spiritual resilience. Ketika punya keyakinan begitu besar meskipun dalam proses ada tahapan bargain. Tapi dengan agama yang dimiliki kuat maka bisa berkembang kepada sense of power, tidak jadi helpless, tetapi menjadi I Can, menjadi bisa dalam mengantisipasi tekanan atau stress dirinya," ujarnya.
"Spirituality sangat penting dalam segala arah namun bukan ritualistik, itu lain lagi," kata dia.
"Kalau kita kuat agama walaupun bargain tak terjawab tetapi dia bisa mengemukakan, memanfaatkan kemampuan spiritual untuk menyesuaikan diri lagi, maka jadilah I Can. Kemudian dalam proses healing recovery perlu waktu pula," ujarnya.
Menurutnya, orang butuh waktu. Berkabung saja perlu waktu.
"Ini bukan berkabung orang sakit, tapi shocking things to get chance, supaya bisa berubah," kata dia.
Resilience merupakan hal yang ulet, jatuh bangun, jatuh bangun lagi memiliki tiga tiang yaitu
I have, I am, I can.
"Hal itu hasil penelitian Universitas Tel Aviv Israel karena ditemukan bahwa orang Timur Tengah yang dihajar perang terus ternyata bisa bangkit lagi dengan baik," ujarnya.
Penelitian dilakukan Dr Edith Grotberg salah satu peneliti Resilience bersama Dr Seisoh Sukemune, Dekan Fakultas Psikologi Universitas Hiroshima.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.