Kontroversi Film Joker yang Mengancam Keamanan di Amerika Serikat, Tingkat Kejahatan Meningkat
Tujuh tahun yang lalu, seorang pria melepaskan tembakan saat pemutaran sekuel film Batman, The Dark Knight Rises di kota Aurora, negara bagian Colorad
Editor: Hasanudin Aco
Sayangnya, kematiannya yang terlalu cepat juga menimbulkan desas-desus bahwa aktor Australia itu "dihantui oleh karakter itu".
Ini diperkuat dengan pendapat aktor Jack Nicholson - yang memerankan Joker dalam film Batman tahun 1989.
"Saya sudah memperingatkannya," kata Nicholson setelah diberitahu tentang kematian Ledger.
Kostum yang 'berlisensi'
Warner Brothers mengeluarkan pernyataan yang menyangkal romantisasi musuh Batman.
"Jangan salah: karakter fiksi Joker, maupun filmnya, tidak mendukung kekerasan dunia nyata dalam bentuk apa pun," sebut perusahaan itu.
"Kami tidak bermaksud membuat karakter ini diangkat sebagai pahlawan."
Namun, studio film itu telah meluncurkan banyak barang berlisensi yang bertemakan Joker, termasuk replika resmi dari blazer merah tua yang dikenakan oleh Phoenix dalam film - yang harganya sekitar $75 (atau sekitar Rp1 juta).
Stigma kesehatan mental
Para pegiat kesehatan mental juga menyatakan kekhawatiran tentang bagaimana film itu akan menggambarkan penyakit mental.
Ini adalah topik rumit dalam diskusi tentang representasi budaya. Dulu, beberapa ahli psikologi telah menegur Hollywood terkait penggambaran karakter yang sakit mental.
Menurut lembaga amal Inggris, Time to Change, yang berkampanye menentang diskriminasi kesehatan mental, stereotip masyarakat terhadap kondisi kejiwaan telah menghambat gerakan perubahan, yang mana kesalahan interpretasi serupa tidak terjadi terhadap isu lain seperti orientasi seksual atau ras.
"Kami sudah mulai melihat beberapa perubahan dari stereotip 'buruk' di film-film, tetapi ada sejarah panjang penyajian yang keliru," kata Julie Evans, kepala komunikasi di lembaga amal tersebut, mengatakan kepada BBC.
"Penggambaran yang dramatis cenderung dilebih-lebihkan dan berkontribusi terhadap bertambahnya informasi yang salah. Mayoritas orang dengan penyakit mental tidak mengancam."
"Selain itu, mereka lebih cenderung menjadi korban kekerasan ketimbang menjadi pelaku," ia menekankan.
Tim Snelson, seorang dosen Studi Film di Universitas East Anglia terlibat dengan sebuah proyek tentang sinema dan kesehatan mental, dan mengatakan mungkin akan sulit untuk menilai Joker sebelum filmnya dirilis.
"Ya, Hollywood sarat dengan contoh film yang mengabadikan mitos seperti hubungan antara kesehatan mental dan kekerasan - termasuk penggunaan sosok 'psikopat menyedihkan' yang diciptakan melalui trauma, seperti Joker," Snelson mengatakan kepada BBC.
"Tapi saya menonton trailer-trailernya dan melihat ada upaya yang lebih menarik, yaitu sebuah tawaran untuk mengisahkan narasi 'asal-usul' karakter yang sakit mental, sesuatu yang tidak dimiliki film-film sebelumnya."
Penghargaan dan pujian
"Akan memalukan jika ternyata Joker tetap terjebak stereotip. Tapi setidaknya film itu sudah membuka diskusi tentang bagaimana kesehatan mental digambarkan," tambah sang akademisi.
Apa yang tidak bisa dipungkiri adalah bahwa film Joker sejauh ini menuai banyak ulasan positif - film tersebut mendapat rating 77% di situs web ulasan Rotten Tomatoes.
Juga, kontroversi ini membantu membangkitkan minat: para analis box office memperkirakan bahwa film tersebut dapat meraup lebih dari AS$100 juta (Rp1,4 triliun) pada akhir pekan pembukaannya di Amerika Serikat. Ini akan menjadi rekor untuk film yang dirilis pada bulan Oktober.
Terakhir yang tidak kalah pentingnya, film Joker meraih penghargaan tertinggi di Festival Film Venice awal bulan ini - bahkan di akhir pemutarannya film ini mendapat sambutan tepuk tangan selama delapan menit.