Dari Kasus Reynhard Sinaga, Begini Perbedaan Stigma yang Melekat pada Pria Korban Kekerasan Seksual
Belajar dari kasus Reynhard Sinaga, predator seks yang memerkosa hampir 200 pria, begini stigma yang melekat para korban kekerasan seksual dari gender
Penulis: Inza Maliana
Editor: Muhammad Renald Shiftanto
TRIBUNNEWS.COM - Kasus pemerkosaan yang dilakukan Reynhard Sinaga terbilang sangat mengerikan.
Korban yang sampai saat ini berkisar 200 orang pria itu tidak sadar dirinya diperkosa oleh Reynhard.
Reynhard sendiri memiliki trik khusus dalam menggaet korbannya.
Ia berlaku manis dan mengajak korbannya untuk pergi ke apartemen miliknya.
Sesampainya di apartemen, Reynhard memberikan minuman kepada korban yang sudah dicampur obat bius.
Sesaat setelah korban tertidur, Reynhard tega memerkosa korban, bahkan ia memfilmkannya.
Setelah korban bangun, mereka tidak menyadari dirinya telah diperkosa oleh Reynhard.
Mereka baru mengetahui setelah polisi datang dan memberi tahu jika mereka adalah korban pemerkosaan Reynhard.
Selama ini, jika berbicara mengenai kekerasan seksual, kebanyak yang menjadi korban adalah perempuan.
Namun dalam kasus tersebut Reynhard ini, korbannya adalah laki-laki.
Sebagai seorang manusia, laki-laki juga pasti merasakan trauma setelah terjadi pemerkosaan.
Meski tidak tahu persis bagaimana reaksi korban dari Reynhard, namun seorang aktivis anti kekerasan seksual menanggapi stigma yang melekat yang menimpa seorang pria.
Aktivis bernama Anindya Restuviani menuturkan seorang korban kekerasan seksual tanpa memandang gender pasti mengalami trauma.
"Berdasarkan pengalaman saya, disaat kita bicara mengenai korban kekerasan seksual dari lelaki maupun perempuan, trauma itu pasti ada," ujarnya kepada Tribunnews.com, Selasa (7/1/2020).
Apalagi ada stigma kuat yang melekat dari seorang pria jika menjadi korban kekerasan seksual.
Hal itu dibenarkan Vivi sapaan akrabnya, yang mendasari korban pria jarang melapor.
"Kenapa sih korban laki-laki jarang melapor? ya karena sterotype atau stigma terhadap laki-laki itu sangat kuat,"
Tidak hanya pria, menurut Vivi beberapa stigma muncul saat perempuan melakukan tindak kekerasan seksual kepada lelaki.
Contohnya adalah:
"Ngapain lapor kan menang banyak dong,"
"Ngapain lapor lo kan bisa ngelawan, lo kan laki lo harusnya kuat,"
Menurut Vivi yang terjadi akhirnya malah korban yang disalahkan kembali.
Vivi yang juga menjadi Co Director Hollaback! Jakarta menuturkan perempuan juga kerap mengalami stigma negatif yang tak kalah kuat.
"Kalau kasusnya kepada perempuan kan kita sering mendengar 'emang kamu pakai baju apa?' kenapa begini kenapa begitu,"
"Bahkan perempuan sudah dibunuh bisa ada anggapan 'ya pasti si perempuan nuntutnya banyak' dan lain-lain," tegasnya.
Menurutnya stigma kuat yang melekat pada korban kekerasan seksual di masing-masing gender, bisa lelaki maupun perempuan itu jelas merugikan.
"Ujung-ujungnya adalah korban enggan untuk melapor karena takut dan akibatnya traumanya tidak akan selesai," tegas Vivi kepada Tribunnews.com melalui sambungan telepon.
Sebelumnya diberitakan, Reynhard Sinaga tengah menjadi perbincangan hangat di publik Indonesia dan Inggris.
Ia adalah tokoh dibalik kasus pemerkosaan terbesar dalam sejarah di negara Inggris.
Reynhad adalah WNI yang sedang menempuh pendidikan di Manchester, Inggris.
Pada Senin (6/1/2020), ia dijatuhi hukuman seumur hidup setelah terbukti bersalah atas 159 kasus pemerkosaan yang dilakukannya dalam rentan waktu 2015-2017.
Tidak hanya itu, ia juga dilaporkan bersalah atas tindak kekerasan seksual terhadap 48 korban pria.
Masing-masing dari 48 korbannya tidak menyadari fakta mereka telah diperkosa atau mengalami pelecehan seksual.
Hal itu baru diketahui setelah polisi mengetuk rumah mereka bertahun-tahun kemudian.
Polisi setempat menyakini jumlah korban dari Reynhard mendekati 195 orang.
Untuk itu Reynhard dianggap pemerkosa paling produktif dalam sejarah peradilan di Inggris.
(Tribunnews.com/Maliana)