Catatan Harian Seorang Warga Wuhan "Teman Saya Batuk, Langsung Disuruh Tutup Telepon"
Orang-orang memakai masker, teman-teman saya bilang sebaiknya saya menumpuk pasokan makanan. Beras dan mi hampir habis di toko-toko.
Editor: Hasanudin Aco
Ada toko bunga yang buka dengan bunga krisan (yang biasa ada di pemakaman) di pintu. Tapi saya tak tahu mengerti maknanya.
Di toserba, rak sayuran kosong. Somai dan mi habis. Hanya sedikit orang mengantri.
Selalu ada dorongan untuk belanja banyak setiap kali ke toko.
Saya beli beras 2,5 kg, meski saya masih punya 7kg beras di rumah.
Saya tak tahan untuk tak membeli ubi, pangsit, sosis, kacang merah, kacang hijau dan telur asin.
Saya bahkan tak suka telur asing! Nanti saya kasih teman saja kalau isolasi kota sudah selesai.
Makanan saya cukup untuk sebulan. Belanja spontan begini rasanya ngawur. Tapi dalam keadaan begini, bisakah saya menyalahkan diri sendiri?
Saya berjalan di tepi sungai. Ada dua toko kudapan buka. Orang-orang membawa anjing jalan-jalan.
Bahkan ada yang membawa kereta bayi. Rasanya mereka juga tak ingin merasa terpenjara.
Saya belum pernah lewat jalan ini. Rasanya dunia saya seperti meluas sedikit.
Minggu 26 Januari - membuat suaramu terdengar
Bukan cuma kota ini yang terkurung, suara orang di dalamnya juga.
Di hari pertama penutupan, saya tak bisa menulis apapun di media sosial (karena sensor). Bahkan juga tak bisa di WeChat.
Sensor internet sudah lama ada di China, tapi sekarang rasanya lebih kejam.
Ketika hidup tiba-tiba jungkir balik begini, susah rasanya membangun hidup sehari-hari lagi.
Saya olah raga tiap pagi memakai aplikasi, tapi tak bisa fokus karena otak saya sibuk.
Saya keluar rumah lagi hari ini dan menghitung jumlah orang yang saya temui. Ada delapan orang sepanjang 500 meter dari rumah sampai ke toko mi.
Saya tak ingin langsung pulang. Baru dua bulan saya pindah ke Wuhan. Saya tak punya banyak teman dan tak terlalu kenal kota ini.
Rasanya saya melihat 100 orang hari ini. Saya harus terus membuat suara saya tetap terdengar, dan mematahkan belenggu ini. Semoga semua tetap punya harapan. Teman-teman, saya harap suatu hari kita bisa bertemu dan ngobrol-ngobrol lagi.
Sekitar jam 8 malam saya dengar teriakan "Tetap semangat Wuhan!" dari jendela orang-orang. Teriakan ini jadi penyemangat bagi diri sendiri.
Selasa 28 Januari - akhirnya hari cerah
Panik telah menekan banyak orang.
Di banyak kota, diwajibkan memakai masker di tempat umum. Ini seperti upaya mengendalikan wabah pneumonia, tapi ternyata bisa jadi penyalahgunaan kekuasaan.
Beberapa warga tanpa masker diusir dari angkuta umum. Saya tak tahu kenapa mereka tak pakai masker. Mungkin tak bisa beli, atau tak tahu pengumuman soal ini.
Apapun alasannya, tak bisa membuat hak mereka jadi dicabut.
Ada beberapa video yang beredar. Beberapa orang menyegel pintu orang-orang yang mengkarantina diri sendiri. Orang dari Provinsi Hubei (di mana Wuhan terletak) diusir dari rumah dan tak tahu kemana harus pergi.
Namun di saat yang sama, beberapa orang menawarkan tempat tinggal untuk orang-orang Hubei.
Banyak cara pemerintah untuk meminta orang tinggal di dalam rumah.
Mereka memastikan penduduk punya masker, atau bahkan memberi uang agar penduduk mau tetap di dalam rumah.
Akhirnya hari ini cerah - seperti perasaan saya. Saya lihat lebih banyak orang di kompleks rumah saya, dan ada beberapa pekerja komunitas. Mereka datang untuk memeriksa suhu badan orang-orang, terutama yang bukan penduduk sini.
Tak mudah membangun kepercayaan dan ikatan dalam keadaan terisolasi begini. Segala sesuatu terasa berat di kota ini.
Kecemasan saya pelan-pelan menghilang. Jalan-jalan di kota tak akan ada artinya kalau saya tak membangun koneksi dengan orang di sekitar.
Berpartisipasi dalam kehidupan sosial juga penting. Setiap orang harus punya peran di masyarakat dan merasa hidupnya berarti.
Di kota sunyi ini, saya harus menemukan peran saya.