Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Kisah Pedih Anak-anak TKI di Malaysia, Tak Punya Kewarganegaraan, Dilarang Sekolah, Jumlahnya Ribuan

Kisah Efa Maulidiyah Keturunan WNI di Malaysia Tak Punya Kewarganegaraan Hingga Dilarang Sekolah

Editor: Sugiyarto
zoom-in Kisah Pedih Anak-anak TKI di Malaysia, Tak Punya Kewarganegaraan, Dilarang Sekolah, Jumlahnya Ribuan
(BBC News)
Efa Maulidiyah. Seorang keturunan Warga Negara Indonesia (WNI) yang tidak mendapatkan kewarganegaraan di Malaysia. 

Jika ia bersekolah, pilihan yang ada adalah sekolah swasta, jauh dari kemampuan ekonomi keluarga yang ditopang dari penghasilan Tuah bin Osman sebagai satpam dan Asma sebagai penjual jajanan anak-anak.

"Sedih. Saya hidup di Malaysia tak boleh bekerja, tak boleh sekolah. Cita-cita saya pun tidak bisa saya teruskan karena tak boleh sekolah," ungkap Efa.

Ketakutan yang senantiasa menghantuinya adalah razia polisi terhadap para pendatang ilegal.

"Saya takut ditangkap polisi. Biasanya polisi minta semua dokumen, minta duit. Tapi saya takut kena tangkap. Kalau ditangkap polisi, polisi akan hantar ke Indonesia pun tak boleh. Tak ada identitas Indonesia. Hidup di Malaysia juga tak boleh, tak ada identitas".

Baik Tuah bin Osman, Asma maupun Efa mengaku telah menempuh berbagai cara untuk mengurus dokumen, dipingpong dari satu instansi ke instansi lain, mulai dari tingkat pemerintah negara bagian hingga tingkat federal.

Jalur adopsi

Ketika berusia 12 tahun, batas usia seseorang mendapat IC (Identity Card) atau kartu tanda penduduk, Efa diberi IC merah, artinya dianggap warga negara asing, bukan kartu biru sebagai warga Malaysia.

Berita Rekomendasi

Oleh karena itu, ayah Efa menolak kartu tersebut dan atas persetujuan istri, Asma, sampailah mereka pada solusi untuk menempuh jalur adopsi, sebagaimana dianjurkan oleh salah satu instansi.

"Orang saran kita ambil sebagai anak angkat. Kita disuruh ke balai maka kita pergi ke balai, ambil surat untuk anak angkat," kata Asma.

Balai yang dimaksud Asma adalah Jabatan Pendaftaran Negara, yang menangani masalah kependudukan.

Akan tetapi permohonan Tuah bin Osman mengangkat Efa ditolak karena usia Efa sudah remaja ketika itu.

Menurut Abdul Rachman, seorang aktivis buruh migran yang mendampingi keluarga Tuah bin Osman, harapan tetap ada dengan melalui tahapan-tahapan, dimulai dengan uji DNA guna merevisi akta kelahiran.

"Bahwasanya bapak adalah ayah daripada anak ini, yang pastinya di Malaysia melalui DNA. Kalau sudah resmi bahwa bapak adalah ayah daripada anak ini maka bapak akan saya dampingi untuk menuntut kepada pihak yang terkait memasukkan nama ayah di sijil kelahiran (akta kelahiran) ini," jelas Abdul Rachman.

Hanya saja uji DNA memakan biaya tidak sedikit, sekitar 4.000 ringgit atau kira-kira Rp13 juta dan fungsi hasil uji DNA itu hanya sebagai bukti pendukung.

Halaman
1234
Sumber: Kompas.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas