Demo di AS: Lempar Bom Molotov ke 4 Polisi, Wanita 27 Tahun Didakwa 4 Tuduhan Percobaan Pembunuhan
Demo Kematian George Floyd, Wanita 27 Tahun Didakwa 4 Tuduhan Percobaan Pembunuhan setelah Lempar Bom Molotov ke Empat Polisi NYPD
Penulis: Andari Wulan Nugrahani
Editor: bunga pradipta p
TRIBUNNEWS.COM - Samantha Shader (27) didakwa dengan empat tuduhan percobaan pembunuhan setelah melemparkan bom molotov ke mobil New York Police Departement (NYPD),
Aksinya itu berlangsung saat kerusuhan yang terjadi karena kematian George Floyd di Brooklyn, AS, sekira pukul 22.30 waktu setempat.
Mobil tersebut diketahui berisi empat petugas polisi.
Dikutip Tribunnews dari Mirror, botol tersebut gagal meledak dan petugas polisi berhasil melarikan diri dari kendaraan tanpa mengalami cedera.
Menurut laporakan, Shader mengaku menggigit salah satu petugas saat dia ditangkap.
Saudari Shader yang berusia 21 tahun juga ditangkap ketika berusaha melakukan intervensi saat saudara kandungnya ditahan.
Dia dituduh menolak penangkapan dan menghalangi administrasi pemerintahan.
Kedua saudari itu tinggal di Catskill, New York.
Mereka diklaim memiliki catatan pernah bentrok dengan polisi saat protes.
Samantha Shader dan saudarinya merupakan dua di antara ribuan orang yang turun ke jalanan New York, ketika huru-hara menyapu AS setelah kematian pria kulit hitam, George Floyd.
Penumpang Gelap dalam Demo Membela George FLoyd
Lebih jauh, mantan Kepala Polisi di Boston, Massachusetts, AS, Daniel Linskey mengklaim ada penumpang gelap dalam demo membela George Floyd.
Dikutip Tribunnews dari Fox News, Linskey menganggap ada kelompok tertentu yang memanfaatkan momen demo itu untuk membuat kekacauan yang lebih parah di tengah masyarakat AS.
Ia menambahkan, kelompok tersebut memiliki misi untuk menganggu kestabilan kehidupan masyarakat.
Baca: Kota-kota di AS Membara Setelah Tewasnya George Flyod, Kerusuhan Meluas hingga ke Gedung Putih
Baca: Demo Kematian George Floyd Berujung Rusuh di New York, 15 Mobil Polisi Dibakar
Sebelumnya diberitakan, George Floyd adalah pria Afika-Amerika berumur 46 tahun yang tewas karena lehernya diinjak seorang petugas polisi di Minneapolis, Minnesota, AS, Senin (25/5/2020).
Pembunuhan George Floyd oleh Derek Chauvin yang kini telah dipecat dari kepolisian itu memunculkan gelombang protes di puluhan kota di AS.
Melihat banyak kericuhan terjadi dalam demo bela George Floyd, Linskey teringat peristiwa penembakan remaja kulit hitam, Michael Brown pada 2014 lalu.
Pihaknya mendapati ada percakapan yang mencurigakan di Twitter dan diduga sebagai pihak teroris.
"Ketika saya di Ferguson untuk (Departemen Kehakiman) bersama dengan jajaran pemerintah Obama setelah penembakan Brown," ungkap Linskey.
"Kami melihat ada beberapa grup teroris dan organisasi di Pakistan dan wilayah lain yang membuat akun Twitter palsu dan rekayasa.
"(Akun Twitter) berkomunikasi dua arah, seolah mengasingkan satu sama lain dan muncul ke publik," sambungnya.
Sementara itu, menanggapi pembunuhan George Floyd oleh Derek Chauvin, Linskey mengaku benci melihat peristiwa rasisme itu.
Linskey menilai, tak ada orang yang tidak benci dengan peristiwa kejam itu.
Baca: Ribuan Orang di London dan Jerman Bergabung dengan AS Memprotes Kematian George Floyd
Baca: Istri Derek Chauvin, Polisi yang Sebabkan Kematian George Floyd Minta Cerai
Ia pun setuju dengan antirasisme yang digaungkan oleh peserta demo.
"Tak ada pihak lain di sini (selain pendukung George Floyd)."
"Polisi setuju dengan para demonstran bahwa ini keterlaluan, polisi (Derek Chauvin) harus dimintai pertanggungjawaban," tegasnya.
Meski demikian, Linskey mengimbau masyarakat untuk waspada karena adanya penumpang gelap dalam demo.
"Tapi sekarang ada orang-orang yang membajak kemarahan warga, yang seharusnya sah-sah saja karena masalah rasisme dalam masyarakat," ujar Linskey.
"Dan mereka menggunakannya (demo) untuk melakukan kekerasan demi tujuan mereka sendiri," imbuhnya.
Linskey meminta para pendemo untuk tidak mudah terhasut orang lain yang mengatasnamakan diri mereka sebagai pembela George Floyd.
(Tribunnews.com/Andari Wulan Nugrahani/Ifa Nabila)