Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Tidak Hanya di AS, Kebrutalan Polisi Juga Terjadi di Kenya Berujung 15 Meninggal dan 31 Terluka

Tidak hanya di Amerika Serikat, kebrutalan polisi juga sudah menjadi persoalan lama di Kenya.

Penulis: Ika Nur Cahyani
Editor: Whiesa Daniswara
zoom-in Tidak Hanya di AS, Kebrutalan Polisi Juga Terjadi di Kenya Berujung 15 Meninggal dan 31 Terluka
AFP/Roberto Schmidt
Polisi bentrok dengan demonstran saat warga melakukan aksi unjuk rasa atas kematian George Floyd, di taman dekat Gedung Putih, Washington DC, Amerika Serikat, Minggu (31/5/2020) waktu setempat. Meninggalnya George Floyd, seorang pria keturunan Afrika-Amerika, saat ditangkap oleh polisi di Minneapolis beberapa waktu lalu memicu gelombang aksi unjuk rasa dan kerusuhan di kota-kota besar di hampir seantero Amerika Serikat. AFP/Roberto Schmidt 

Setidaknya ada 15 korban meninggal dan 31 luka-luka akibat kekerasan polisi saat menjalankan patroli jam malam.

Polemik ini tentu sama dengan yang terjadi di Amerika Serikat saat ini.

Bahkan sudah sepekan lebih masyarakat berdemo dan protes terhadap kematian George Floyd.

Publik menilai George Floyd meninggal karena rasisme yang dilakukan polisi terhadapnya.

Aktivis Kenya mengungkapkan bahwa kebrutalan polisi di negaranya selama ini kerap kali lepas dari hukum.

"Akhirnya suara kami didengar, kami berada di daerah kumuh tetapi seluruh dunia akan mendengar tangisan kami seperti mereka mendengar George Floyd," kata pengunjuk rasa Cynthia Ochieng kepada Anadolu Agency.

Kelompok HAM menilai Kepolisian Kenya menggunakan kekuatan berlebihan dan melakukan pembunuhan di luar hukum kepada warga sipil, terutama di lingkungan miskin.

Berita Rekomendasi

Pada April lalu, Human Right Watch (HRW) menuduh polisi memberlakukan jam malam dengan cara yang keras dan tidak beraturan sejak awal.

Tidak jarang polisi mencambuk, menendang, dan meracuni warga dengan gas demi memaksa mereka tidak berkeliaran di jalan.

Gas air mata mengepul di antara demonstran dengan polisi saat aksi unjuk rasa atas kematian George Floyd, di luar lingkungan Gedung Putih, Washington DC, Amerika Serikat, Minggu (31/5/2020) waktu setempat. Meninggalnya George Floyd, seorang pria keturunan Afrika-Amerika, saat ditangkap oleh polisi di Minneapolis beberapa waktu lalu memicu gelombang aksi unjuk rasa dan kerusuhan di kota-kota besar di hampir seantero Amerika Serikat. AFP/Samuel Corum
Gas air mata mengepul di antara demonstran dengan polisi saat aksi unjuk rasa atas kematian George Floyd, di luar lingkungan Gedung Putih, Washington DC, Amerika Serikat, Minggu (31/5/2020) waktu setempat. Meninggalnya George Floyd, seorang pria keturunan Afrika-Amerika, saat ditangkap oleh polisi di Minneapolis beberapa waktu lalu memicu gelombang aksi unjuk rasa dan kerusuhan di kota-kota besar di hampir seantero Amerika Serikat. AFP/Samuel Corum (AFP/Samuel Corum)

Baca: Pernah Diperlakukan Rasis Pemain Lawan, Odion Ighalo Mengaku Tak Sudi Diajak Bersalaman

Baca: Anindya Bakrie Dan Erick Thohir Bersama Oxford United Perangi Rasis

Sama halnya yang terjadi kepada Yassin Hussein Moyo (13).

Hussein meninggal pada 31 Maret lalu setelah ditembak polisi saat berdiri di balkonnya.

Polisi tega melakukan itu karena bocah tersebut menolak masuk ke rumahnya.

Kasus lainnya menimpa seorang pedagang tomat di Kakamega Barat.

Dia dihujani gas air mata sementara empat orang dipukuli hingga meninggal di berbagai wilayah negara ini.

"Hal ini mengejutkan bahwa orang yang kehilangan nyawa dan mata pencaharian mereka sementara diduga dilindungi dari infeksi," kata peneliti senior HRW, Otsieno Namwaya.

(Tribunnews/Ika Nur Cahyani)

Sumber: TribunSolo.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas