Ibu Ini Dipenjara 20 Tahun Usai Jual Adegan Seks Anak-anaknya ke Pedofil
Selama lima tahun, Vilma merekam video dan foto-foto adegan seks anak-anaknya, lalu menjualnya ke para pedofil
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, CEBU - Aparat Kepolisian Federal Australia (AFP) yang menggerebek rumah seorang pedofil di Queensland, terkejut mendapati bahan-bahan pelecehan seksual anak-anak ternyata disiapkan oleh ibu dari anak-anak itu sendiri.
Salah satunya dilakukan oleh Vilma (nama samaran) yang berusia 36 tahun. Ia adalah contoh dari banyak warga Filipina yang hidup dalam kemiskinan di Cebu.
Baca: Fakta Pelecehan Seksual Via CCTV yang Dilakukan Pegawai Starbucks, Jadi Tersangka, Akui Suka Korban
Baca: BIKIN GEGER, Video Seks di Mobil PBB Direkam Warga Perlihatkan Adegan Perempuan di Atas Pria
Dia memiliki empat orang anak berusia antara 7-11 tahun dan susah payah menghidupi diri dan keluarganya.
Selama lima tahun, Vilma merekam video dan foto-foto adegan seks anak-anaknya, lalu menjualnya ke para pedofil di Australia, Jerman, dan Amerika Serikat (AS).
Seorang anak perempuan mengatakan, dia tidak ingat sudah berapa kali dia melakukan hal tersebut atas paksaan ibunya.
Barulah setelah petugas AFP menggerebek rumah seorang pedofil di Queensland, mereka menemukan apa yang dilakukan Vilma.
Polisi menemukan pria tersebut membayar untuk jasa video live stream dari Filipina.
Di tahun 2018, Vilma dinyatakan bersalah dan dihukum 20 tahun penjara. Dia juga harus membayar denda uang dalam jumlah besar untuk anak-anaknya.
Pria Queensland tersebut merupakan salah satu dari tiga pria di Australia yang dinyatakan bersalah ikut berperan dalam penganiayaan seksual anak-anak di Filipina.
Keempat anak Vilma sekarang tinggal bersama keluarga angkat setelah mendapatkan bantuan psikologis atas apa yang mereka alami sebelumnya.
Mengapa orang tua paksa anak mereka sendiri?
Tindakan memaksa anak-anak melakukan gerak seksual sudah menjadi bisnis online yang merambah banyak negara Asia.
Filipina adalah salah satu pusatnya, dengan sekitar 300 ribu kasus terjadi sejak Maret 2020.
Kebanyakan alasannya adalah karena faktor kemiskinan, adanya kesempatan mendapatkan uang, tersedianya akses internet, dan juga kemampuan berbahasa Inggris warga di sana.