Terbongkar Cara Perusahaan Sarung Tangan Top Glove Malaysia Pekerjakan Buruhnya, AS Larang Impor
Amerika melarang impor Top Glove setelah tahu bagaimana perusahaan sarung tangan ini mempekerjakan buruhnya.
Penulis: Tiara Shelavie
Editor: Pravitri Retno W
![Terbongkar Cara Perusahaan Sarung Tangan Top Glove Malaysia Pekerjakan Buruhnya, AS Larang Impor](https://asset-2.tstatic.net/tribunnews/foto/bank/images/amerika-serikat-melarang-impor-produk-dari-top-glove-malaysia.jpg)
TRIBUNNEWS.COM - Amerika Serikat melarang impor produk dari Top Glove Malaysia, pembuat sarung tangan karet terbesar di dunia karena masalah ketenagakerjaan para buruhnya.
Investigasi Channel 4 News baru-baru ini mengungkapkan kondisi para pekerja migran yang mengejutkan di pabrik-pabrik Top Glove Malaysia.
Para buruh dipaksa untuk memenuhi target produksi yang intens untuk menghasilkan banyak produk Alat Pelindung Diri (APD) yang permintaannya meningkat selama pandemi Covid-19.
Menurut Channel 4 News, pekerja Top Glove diduga bekerja 12 jam, enam hari seminggu dan dibayar kurang dari RM6 (Rp21 ribu) per jam.
![Source: Nikkei Asian Review](https://cdn-2.tstatic.net/tribunnews/foto/bank/originals/source-nikkei-asian-review.jpg)
Jika mereka bekerja lembur, mereka hanya dibayar RM8 (Rp27 ribu) per jam.
Baca: Google Maps dan Apple Dituduh Hapus Palestina dari Peta Online Mereka
Baca: Kisah Para Guru di Malaysia Buat Meja Belajar untuk Para Murid Viral hingga Warganet Beri Donasi
Setelah diselidiki lebih lanjut, diketahui slip gaji beberapa pekerja mencatat hingga 111 jam lembur.
Jam kerja tersebut melanggar batas maksimum lembur yang diizinkan berdasarkan undang-undang ketenagakerjaan Malaysia.
US Customs and Border Protection mengatakan mereka memutuskan untuk memberlakukan larangan Top Glove "berdasarkan bukti yang mengarah pada kerja paksa dalam proses pembuatannya", menurut laporan dari Yahoo News.
Dalam video Channel 4 News Investigation, para pekerja migran itu juga mengalami kondisi yang sepenuhnya mengesampingkan aturan social distancing.
Asrama dihuni hingga 24 pekerja dalam satu ruangan.
Baca: FDA Amerika Izinkan Pemasaran Tembakau Iqos, Sampoerna Beri Tanggapan
Baca: Seekor Tupai Dinyatakan Positif Terjangkit Pes, Kasus Pertama di Amerika Serikat
Para pekerja terus-menerus bekerja dengan rasa was-was akan adanya penularan virus.
Video itu juga menunjukkan para pekerja yang mengklaim mereka tidak dibayar saat harus hadir 30 menit lebih awal.
Waktu 30 menit itu dihabiskan untuk mengantre pemeriksaan suhu.
"Jika seandainya ada satu orang saja yang terinfeksi Covid-19, maka seluruh kelompok pekerja akan berada dalam situasi yang rentan seperti yang terjadi di Singapura," kata mantan Sekretaris Jenderal Kongres Serikat Buruh Perdagangan Malaysia, Gopal Krishnam.
![Sumber: Channel 4 News](https://cdn-2.tstatic.net/tribunnews/foto/bank/originals/sumber-channel-4-news.jpg)